infobanua.co.id
Beranda Opini Kebohongan Bertopeng Kebenaran

Kebohongan Bertopeng Kebenaran

Pribakti B

Oleh: Pribakti B

 

Dulu ulama, umara dan orang kaya merupakan tiga pilar penyangga keadilan dan kebenaran. Secara simbolik, ketiganya menjadi penjaga pintu neraka agar tidak seorang pun masuk ke sana. Ulama, umara dan orang kaya pelindung masyarakatnya. Bila tiga golongan ini baik, maka baik pula masyarakatnya. Ulama menjadi teladan akhlak mulia dan mencerminkan pepatah “orang pandai tempat bertanya” . Umara atau penguasa – pemegang kendali hidup masyarakat dan negara, mengemban sifat amanah , jujur dan bukan sibuk menjaga singgasananya sendiri. Orang kaya menjaga tugas etis dan sosial menjadi dermawan, seperti tercermin dalam pepatah “orang kaya tempat meminta”

 

Sekarang ketiga pilar ini ternyata bohong. Banyak ulama tak peduli akan kebobrokan moral masyarakatnya. Banyak umara bersumpah memanggul amanat penderitaan rakyat, tapi tak sensitif terhadap derita mereka. Banyak orang kaya yang berlagak sederhana, memakai kaos dan sandal, atau sepatu murahan , demi menghindari proposal permintaan sumbangan. Dirinya sendiri pun dibohongi. Sebagian malah gigih menjadi penguasa, tanpa merasakan adanya dilema etis maupun moral, karena etika dan moralitas bukan hidup mereka. Dan bila dipetakan, maka di dalam masyarakat kita  temukan tiga jenis kebohongan.

 

Pertama, kebohongan politik, yaitu suatu jenis tindakan – biasanya oleh tokoh, terutama tokoh politik – yang sengaja menyembunyikan kebenaran tentang suatu perkara. Tujuannya untuk penyelamatan politis seseorang. Di pengadilan , atau dalam pemeriksaan, kebohongan ini menang, tapi rasa keadilan umum terluka dan dibiarkan telantar tanpa pembelaan. Dari dulu hingga kini, juga disini , orang kuat selalu selamat . saudara, sahabat atau kepercayaannya ikut aman dan kebohongan mereka berubah menjadi kebenaran. Kebenaran inilah yang bikin negeri kita bangkrut secara total hingga kita kehilangan harga diri. Dalam dunia politik memang banyak tokoh, baik dan jujur, tapi itu hanya cerminan moralitas individual. Dengan begitu , anggapan bahwa dunia politik itu bohong dan culas, bukan sikap yang tidak mendasar  melainkan penilaian  sahih, kuat dan terpercaya.

 

Kedua, kebohongan ilmiah, yaitu perilaku culas kaum ilmuwan, yang menggelapkan data, mengemukakan data fiktif , palsu dan manipulatif . Ini berbahaya bagi bukan saja bagi dunia ilmu – yang karena itu tak bakal bisa berkembang – melainkan juga bagi penegakan hukum dan etika sosial karena hal itu bisa menjadi ancaman keadilan dan kebenaran. Kalau sekadar angka dan data saja dicuri sih tidak ngaruh, konon pula setumpuk uang rakyat yang lebih menggiurkan. Orang macam ini menjadi sangat terlatih untuk bohong. Dan , potensial merusak masyarakat.

 

Ketiga, kebohongan pribadi, yang datang dari orang per orang dan membohongi orang lain. Ternyata, pergaulan itu licin dan mudah melukai kepercayaan yang semula tampak anggun memahkotai sebuah persahabatan di kantor atau di masyarakat. Salahnya, kita sering cepat percaya akan kebaikan orang. Kita lalu kaget setelah kita dibohongi oleh orang yang untuk waktu lama pernah kita anggap sahabat. Ini terjadi tidak mendadak. Sinyal lembut sudah ada sejak lama. Tandanya? Biasanya orang itu gigih menempatkan menang-kalah, bukan benar-salah, sebagai ukuran.

 

Tujuan hidupnya hanya mencari kemenangan dan bukan kebenaran. Bohong tak dianggap masalah. Lalu, diam-diam bohong menjadi kebiasaan rutin yang tak terasa, tapi sebetulnya itu tindakan tiranis dan menindas. Inilah yang dinamakan fenomena “post-truth” . Fenomena zaman dimana suatu kebohongan dapat menyamar menjadi suatu kebenaran dengan cara memainkan suatu hubungan emosional atau suatu perasaan . Kebohongan bertopeng kebenaran . Apakah Indonesia pernah mengalaminya? Bukan hanya pernah, tapi sudah dan masih mengalaminya sekarang.

 

Negara kita bangkrut karena kebohongan para tokoh. Kita marah pada mereka, tapi lupa, tiap tokoh datang dari masyarakat kita juga. Maka, demi perbaikan, kita harus membenahi basis sosial di bawah, dengan pendidikan yang membentuk watak jujur, lurus dan amanah, lewat cara hidup di keluarga , di kantor, di masyarakat dan di sekolah, dengan kontrol sosial dan penegakan etika secara tegas. Dan kita memiliki cadangan tokoh-tokoh yang berkualitas – tokoh beneran. Sikap kita pun jelas, kebohongan bertopeng kebenaran itu racun moral dan patologi sosial yang merusak. Para tokoh masa depan tak boleh terkena radiasi kebohongan macam itu.

Dokter RSUD Ulin Banjarmasin

 

Bagikan:

Iklan