Jabatan Untuk Kekuasaan
oleh: Pribakti B *)
Di dalam terminologi tradisional, kekuasaan itu disebut tahta. Di dalam percaturan politik modern, konsep tahta masih sering digunakan dan masih tetap terasa relevansi kulturalnya. Jadi tidak ada masalah dalam penggunaannya. Penguasa modern tak memiliki kursi seperti raja. Kursi dalam kekuasaan modern hanya disebut kursi begitu saja, seolah tidak ada sama sekali bedanya dengan semua jenis kursi yang lain. Tapi kursi itu diperebutkan dengan kompetisi yang mempertaruhkan kewibawaan politik .
Dalam era reformasi ini, kita, terutama sebagian besar pemburu kekuasaan, kelihatannya sedang mabuk. Banyak orang agak gelap mata dan mudah berbuat nekat untuk mencalonkan diri dalam perebutan kursi jabatan ini-itu tanpa memiliki ukuran kepantasan. Disini si pemabuk membayangkan harta dan jenis “ta” yang lain bagai sudah dalam genggaman. Segenap kemuliaan duniawi lainnya mungkin sudah membikin rasa mabuk itu menjadi begitu total. Ada bahkan yang sudah mulai mabuk kemenangan hanya karena perhitungan di atas tadi, bahwa dirinya cukup populer. Mabuk kekuasaan kurang lebih serupa. Tapi mabuk kekuasaan lebih hebat lagi pengaruh kejiwaannya.
Kita tahu urusan pokoknya nyalon bukan sekadar boleh mencalonkan atau tidak, melainkan apakah pencalonan itu pantas secara politik? Si calon harus didukung segenap kemampuan teknis atau profesionalisme tadi dan bukan hanya oleh popularitas kosong. Calon populer dan didukung pengalaman kelihatannya sudah memenuhi syarat. Tapi pengalaman yang bagaimana? Kalau dibalik pengalaman itu hanya berisi kegagalan dan rekam jejaknya hanya menunjukkan pengalaman buruk dan ambisi besar, apa artinya pengalaman?
Kita tahu pengalaman itu penting agar seorang calon tidak tampil dengan bekal kosong melompong. Tapi orang boleh juga nekat maju ke gelanggang pencalonan tanpa pengalaman apapun. Jika ditelusuri , rentang pengalaman pendek hanya menggambarkan kegagalan dan pengalaman buruk yang seharusnya dilupakan saja. Tapi karena ada pendukung yang juga mabuk, maka majulah calon tesebut dengan kenekatan yang sukar untuk kita pahami.
Di zaman orang mabuk kekuasaan , kita bisa membuat orang biasa menjadi penting. Dia bisa dibikin tampak hebat. Cara bicaranya dilembut-lembutkan seolah itu khas gaya dia. Dan publik, terutama kaum muda yang bangga pada “kulit” dan tak peduli pada “isi” bisa dibuat terkagum-kagum kepadanya. Mereka siap menjadi pendukung fanatik sefanatik-fanatiknya karena sudah terlanjur bersikap membabi buta.
Ini bukan hanya tidak sehat, tapi juga buruk sekali makna politiknya. Apa yang mau dikatakan oleh pengagum buta ini ketika , misalnya, jagoan yang didukungnya juga terkapar? Menangis jejeritan? Atau menembaknya dengan rasa cinta buta tadi? Dan bagaimana jika jagoannya menang tapi kemudian terbukti tak mampu berbuat apa-apa karena – seperti disebutkan diatas – modalnya hanya popularitas kosong?
Betapa berbahayanya sifat kaum muda di dalam politik yang mengandalkan popularitas dan gaya pidato yang dilembut-lembutkan tadi. Dalam satu dekade terakhir ini kita agak kurang bisa merasa malu memandang penampilan politikus kita yang porak-poranda. Kita menjadi pemburu kekuasaan tanpa menimbang apakah layak jika kita meraihnya. Kita terpesona pada jabatan dan kedudukan. Kita kehilangan kemampuan untuk mengaca diri. Kita kurang mampu untuk merasa malu atas kekurangan diri
Di lapis bawah atau menengah dalam masyarakat pun watak serupa itu muncul dengan agak mencemaskan. Banyak orang yang tampaknya seperti merasakan tak berarti kalau tak punya jabatan. Maka segala cara ditempuh agar bisa menjabat. Orang macam ini akan mempertahankan jabatan dengn segala cara. Dalam hidup yang dicari bukan jalan kearifan untuk mematangkan pribadi, melainkan jabatan. Menjadi pegawai di suatu kantor pemerintahan tidak cukup. Orang harus berusaha memperoleh jabatan . Orang yang sudah memiliki posisi baik disuatu kantor swasta merasa tidak cukup.
Pesona jabatan yang begitu besar membuatnya harus turut berebut di bursa pemilihan. Orang tak peduli apakah dirinya layak atau tidak, yang penting maju, maju dan maju dalam perebutan jabatan tadi. Kita terpesona . Kita mabuk melihat jabatan. Akhirnya , kita hanya mencatat sejarah diri kita sebagai calon dan calon sepanjang karier kepegawaian. Kita hanya menjadi calon selamanya. Calon yang terpesona tapi tak pernah meraih apa pun.
*) Dokter RSUD Ulin Banjarmasin