Hati-Hati dengan Kekuasaan
Oleh: Pribakti B *)
Sesungguhnya kekuasaan itu tidak hanya sumber kenikmatan, tetapi juga membawa tanggung jawab. Makin tinggi kekuasaan, makin besar pula tanggung jawabnya. Ini karena kekuasaan membawa nilai sosial, , menyangkut hidup orang banyak. Berkuasa berarti menguasai orang banyak. Kalau kekuasaan hanya dipakai untuk kepentingan dan kenikmatan diri, artinya kepentingan orang banyak dikorbankan demi kepentingan diri sendiri.
Setelah pemilihan umum tahun 2024 usai dan tanda-tanda kemenangan calon presiden sudah ditetapkan , tiba-tiba banyak orang yang berbicara mengenai jabatan dan kekuasaan. Siapakah yang akan menduduki jabatan menteri dalam kabinet mendatang. Siapa yang akan menempati jabatan pada lembaga tinggi lainnya. Jabatan mulai terbayang dalam pikiran mereka, kekuasaan mulai dibagi-bagi di atas kertas.
Kekuasaan dimaknai sebagai dewa yang harus disembah dan para pengejarnya akan bertekuk lutut di bawah kakinya. Demi tahta, pelacuran politik terjadi dimana-mana. Kekuasaan bagi mereka , seolah hanya dalam arti fisik , dalam artian tahta, fasilitas, kemegahan, hak dan previlege. Padahal kekuasaan mengandung makna rohaniah, suatu anugerah sekaligus amanah. Sesuatu yang diberikan oleh Yang Maha Kuasa dan dapat ditarik kembali, bukan sesuatu yang kekal, namun sesuatu yang nisbi.
Banyak orang yang sudah memperoleh amanah ini, tidak memahami, dan akhirnya tidak dapat melaksanakan amanah tersebut. Bung Karno salah seorang yang sudah mendapatkan amanah tersebut, tetapi kemudian berubah menjadi pemimpin flamboyan. Ia tidak lagi tampil sebagai penggalang solidaritas dan kebersamaan, seperti pada masa perjuangan kemerdekaan.
Ia sudah berubah menjadi kolektor kekuasaan. Ia menjadi pemimpin yang sangat kuat yang tidak membolehkan adanya pesaing dan tidak membolehkan adanya koreksi atas dirinya. Ia kemudian memenjarakan sejumlah tokoh yang dianggap sebagai lawan politik tanpa proses peradilan. Ia membubarkan partai-partai politik yang dianggap potensial menghalangi keinginan politiknya , dan puncaknya ketika ia menerima pengangkatan dirinya sebagai presiden seumur hidup.
Pak Harto kemudian mendapatkan amanah itu setelah Bung Karno. Namun dua puluh tahun kemudian, ia terlena dan menganggap bahwa kekuasaan adalah “wahyu”, kemudian menghimpun kekuasaan dalam satu tangan , dan keluarganya pun memanfaatkan kekuasaan itu untuk kepentingan pribadi. Di banyak negara, kasus serupa pun terjadi, banyak pemimpin dunia lainnya terjerumus dan menyeleweng dari amanah ini, akhirnya menutup sejarah hidupnya dalam keadaan tragis. Dari kemegahan dan sanjungan berubah menjadi orang yang penuh caci maki, nista dan terlunta-lunta di akhir hayatnya.
Pelajaran yang kita peroleh dari sejarah orang-orang besar ini, sangat gamblang dan nyata. Kekuasaan yang dititipkan kepada mereka tidak diterima sebagai amanah. Karena itu, setiap orang yang kebetulan mendapat titipan amanah ini, yang harus dilakukannya pertama kali adalah tafakkur dan istigfar. Karena sesungguhnya mereka sudah jatuh ke dalam cobaan dan sebuah malapetaka. Mereka diberikan cobaan memikul beban yang tidak ringan, benarkah beban ini dapat dipikul dan dipertanggunjawabkan kepada rakyat dan Yang Maha Kuasa.
Namun bagi mereka yang tidak mengerti makna amanah ini. Pertama kali yang dilakukannya bukannya beristigfar dan tafakkur, melainkan mengadakan pesta selamatan, sebagai refleksi rasa syukur, sekaligus cerminan kemegahan dan suka cita yang luar biasa. Kekuasaan akhirnya berubah menjadi berhala yang disanjung, dipuja, dipikul dengan kesombongan. Padahal seharusnya tetap disadari bahwa kekuasaan yang diperoleh dengan dorongan ambisi, akan menjadi beban yang berat, sebaliknya kekuasaan yang diterima sebagai amanah, akan senantiasa ringan dipikul. Berhati-hatilah terhadap kekuasaan.
*) dokter di RSUD Ulin Banjarmasin