infobanua.co.id
Beranda Opini Zaman (Sudah) Edan

Zaman (Sudah) Edan

Pribakti B

Oleh: Pribakti B

Yang pertama kali menyebut “zaman edan” adalah pujangga istana Surakarta. Namanya Ronggowarsito, pada akhir abad ke 19. Baris sajak terkenal tersebut terdapat dalam puisinya Kalatida. Sampai sekarang kata-kata beliau masih relevan dan sering dikutip manakala terdapat krisis moral dalam masyarakat. Apakah sekarang ini zaman edan? Boleh dikatakan demikian. Kerusakan moral bangsa ini sudah dalam tahap sangat mencemaskan, karena terjadi di hampir semua lini, baik di birokrasi pemerintahan, aparat penegak hukum, maupun masyarakat umum.

Di kalangan birokrasi pemerintahan misalnya, hampir semua lembaga negara tidak bersih dari kasus korupsi. Hal yang sama terjadi pada institusi penegak hukum yang semula diharapkan bisa memperbaiki keadaan ternyata kondisinya sama saja . Sami mawon. Tidak heran karena pokok dan dasar keedanan manusia Indonesia masa kini adalah pemujaan uang.

Bagi manusia Indonesia seolah tak ada lain yang dipikir kecuali mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya, oleh kartu kreditnya, oleh kemewahan rumahnya, oleh kemutakhiran kendaraannya. Lalu untuk apa uang? Untuk kenikmatan hidup.

Memang boleh-boleh saja orang mengejar uang sebanyak-banyaknya. Kaya raya pun sah-sah belaka. Namun ketidakberesan kita sekarang ini terletak pada cara mengumpulkan uang itu, yang sudah tidak wajar. Berbagai cerita kuno menyebutkan bahwa sesungguhnya orang dapat hidup mulia di dunia dengan kekayaannya apabila dia bekerja keras. Harta benda itu harus diciptakan oleh manusia dengan kerjanya . Namun kerja keras dengan segala macam risikonya inilah kini yang tak kita lihat.

Kalau saja seluruh manusia Indonesia ini telah memiliki etos kerja, dan mereka bekerja keras dengan penuh perhitungan, maka kekayaan akan tercipta. Tetapi , benarkah mereka yang sanggup bekerja keras sekarang ini memetik hasilnya? Tengoklah wong cilik, mereka itu bukan main kerja kerasnya.

Seharusnya merekalah yang dapat menumpuk harta. Tapi yang terjadi sebaliknya: wong cilik yang bangun pagi subuh dan pulang kerja sore bada mahgrib , ternyata hidupnya tetap sengsara. Para pegawai kantoran yang bekerja dari pagi pulang malam dengan segenap kejujurannya, juga tetap saja miskin. Tidak ada yang berubah.

Kekayaan hanya singgah di kantong sejumlah orang tertentu. Disinilah letak keedanannya manusia Indonesia. Tidak ada keadilan ekonomi. Anda mau cepat kaya? Anda harus berani menyalahgunakan wewenang yang menjadi tanggung jawab Anda. Harus berani memanfaatkan ” aji mumpung” yakni mumpung pegang jabatan, mumpung ada kesempatan. Atau kaya dengan menempuh konsep menghalalkan segala cara.

Menyuap dan menyogok kiri kanan , memanipulasi anggaran. Cara-cara itu sudah sering kita dengar dari percakapan. Tetapi, kebanyakan orang tak pernah dapat membuktikannya. Ini berarti cara-cara itu telah menjadi gaya hidup sebagian orang sekarang.

Tidak jarang banyak orang kini mau ”menjual jiwanya” sendiri untuk memperoleh kekayaan. Tidak jadi soal membuat orang lain menderita, yang penting kekayaan masuk kerumahnya. Cari uang semacam ini amat menggejala. Tidak peduli banyak orang tua setengah mati mencari uang untuk memasukkan anaknya ke sekolah.

Tidak peduli banyak keluarga tergusur dari tanah kakek moyangnya. Yang penting investasi di negeri ini berjalan mulus. Tidak peduli orang menjual seluruh harta keluarganya, yang penting tanda tangan saya ini dapat mengeruk uang miliknya. Bahkan bila ada yang melawan akan dibludoser atau dipiting.

Masya Allah! Di zaman edan, moral tak dipedulikan lagi. Rasa malu, rasa bersalah, rasa berdosa , telah berkarat di hati. Orang telah bermuka tebal bagai kulit badak. Atau malah tak punya muka lagi. Kesalahannya telah mendarah daging menjadi kebenaran. Dunia telah terbalik. Inilah zaman edan itu! Apakah moralitas, agama, filsafat, seni sudah tak mampu berbicara lagi pada manusia semacam ini?

Apakah mereka lupa bahwa pada suatu kali mereka harus meninggalkan dunia ini dengan seluruh kekayaaannya yang tak habis dimakan selama hidupnya? Apakah mereka lupa bahwa jiwa ini lebih berharga dari harta? Bahwa jiwa itu abadi, sedangkan harta itu fana? Mengapa mereka begitu bodohnya mau menukarkan jiwanya dengan isi dunia ini?.

Harta duniawi itu diperlukan manusia selama hidupnya. Tetapi, harta duniawi itu diperlukan demi kepentingan jiwa. Dan menjadi orang kaya itu akan semakin besar tanggung jawab dan kewajiban kemanusiaannya, begitulah ajaran agama . Harta itu “barang titipan” yang bukan sepenuhnya milik pribadi. Saya dan Anda dapat makan kenyang satu hari tiga kali. Tetapi, ada ratusan orang lebih hanya makan satu hari sekali.

Bukan karena mereka malas bekerja, tetapi semata-mata karena cara pemerataan yang tak wajar di negeri ini. Keserakahan dan ketamakan telah membuat mata ini buta dan telinga ini tuli, serta tangan dan kaki kaku. Untuk itu marilah kita terus berdoa untuk keselamatan bangsa ini, untuk mereka yang telah lupa . Tetaplah waspada . Nasehat orang dahulu – Ingatlah kematian!

Dokter RSUD Ulin Banjarmasin

Bagikan:

Iklan