infobanua.co.id
Beranda Jawa Timur Ketum PJI: Dewan Pers Harus Gerakkan Pers Nasional Lawan RUU Penyiaran

Ketum PJI: Dewan Pers Harus Gerakkan Pers Nasional Lawan RUU Penyiaran

Ketum PJI, Hartanto Boechori.

Blitar, infobanua.co.id – Ketua Umum (Ketum) Persatuan Jurnalis Indonesia (PJI) Hartanto Boechori, mengatakan, Lembaga Penyiaran harus tunduk UU Pers.

“Saya menolak keras draf revisi RUU Penyiaran yang diinisiasi oleh DPR RI. Sikap saya sejak Rabu sore 15-05-2024 hingga Jum’at 17-05-2024 pukul 15.00 WIB telah dipublikasikan 300 lebih media/jurnalis anggota PJI. Sebagian besar berjudul Revisi UU Penyiaran, Ketua Umum PJI Hartanto Boechori Setuju. Dan sub judul Penyiaran Bagian Giat Jurnalistik,”.kata Ketum PJI Hartanto Boechori, Sabtu 18-05-2024.

Menurut Hartanto, Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu melalui Whatsapp kepada dirinya Jum’at 17-05-2024 pukul 10.23 WIB menyampaikan terima kasih kepada seluruh anggota PJI yang tegas menolak keras draf Revisi RUU Penyiaran yang jelas-jelas bertujuan mengebiri dan memecah belah Pers serta sengaja mengadu domba kewenangan Dewan Pers dengan KPI (Komisi Penyiaran Indonesia). Sehari sebelumnya, Ketua Umum PWI, Hendry Ch. Bangun juga memberi dukungan apresiasi.

“Saya memang setuju UU Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 direvisi karena memang tidak relevan. Lembaga penyiaran tak pelak bagian dari jurnalistik. Wajib tunduk pada UU Pers, UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers dan mematuhi Kode Etik Jurnalistik serta Peraturan/Aturan Dewan Pers dan Peraturan/Aturan Organisasi Pers masing masing. Bukan tunduk pada KPI atau lembaga lain apapun,” jlentrehnya.

Lebih dalam Hartanto menuturkan, yang ditolak substansi draf revisi RUU penyiarannya.

Dengan penilaian dipenuhi klausul hukum yang amburadul dan super ngawur, serta dzolim.

“Saya yakin penyusunnya orang-orang yang istilah Surabayaan, lholak-lholok atau Nol Besar atau sama sekali tidak mengerti dunia Jurnalistik/Pers,” ungkapnya.

Lebih dalam Hartanto menuturkan, bahwa dalam UU penyiaran, idealnya KPI berfungsi sebagai pengawas program siar. Untuk penindakan tetap wajib berkoordinasi dengan Dewan Pers dan atau Organisasi Pers masing masing. Bila KPI menemukan pelanggaran yang dilakukan program siar, KPI menyerahkan temuannya kepada Dewan Pers atau Organisasi Pers masing-masing untuk diselesaikan melalui mekanisme Pers. Atau bisa juga dipisahkan kriteria antara program siar produk jurnalistik dan non jurnalistik.

KPI hanya sebagai pengawas program siar yang non jurnalistik, misalnya program hiburan. Kalau KPI dipaksakan menangani masalah Pers/Jurnalistik, itu ngawur.

Klausul hukum amburadul dan super ngawur serta dzolim yang Hartanto maksudkan yakni Pasal 17, pasal 23, pasal 26A, pasal 27, pasal 28A, pasal 36A, pasal 39 dan pasal 40, mensahkan pembredelan Pers ala Orde Baru oleh KPI. Padahal pembredelan diharamkan dalam UU Pers.

Belum lagi dalam pasal 42, lembaga penyiaran dipisahkan dengan dunia Jurnalistik dan mendegradasi kewenangan Dewan Pers serta memecah belah dan mengadu domba Dewan Pers dengan KPI.

“Payah..! Lembaga penyiaran tak mungkin dipisahkan dengan dunia jurnalistik. Selama lembaga penyiaran mematuhi amanat UU Pers (berbadan hukum dan lain lain) serta mematuhi Kode Etik Jurnalistik, lembaga penyiaran tunduk pada UU Pers. Segala permasalahan jurnalistik terkait lembaga penyiaran wajib diselesaikan oleh Dewan Pers dan Organisasi Pers masing-masing. Bukan oleh KPI atau lembaga lain apapun namanya,” tegasnya.

Hartanto menambahkan, terkait Pasal 50B ayat 2 huruf (c) lebih parah lagi, melarang penayangan eksklusif atau siaran langsung Jurnalistik investigasi lembaga penyiaran.

“Ketahuilah Bung, Jurnalisme Investigasi itu kasta tertinggi dalam kegiatan jurnalistik. Melarang jurnalisme investigasi disiarkan langsung berarti menghalalkan pembungkaman atau sekurangnya pengkerdilan Pers atau dunia jurnalistik ala Orde Baru yang diharamkan dalam UU Pers.” ungkapnya.

Masih menurutnya, Pasal 50B ayat 2 huruf (k), mengatur konten siaran mengandung penghinaan dan pencemaran nama baik seperti di UU ITE.
[07.55, 18/5/2024] Eko okE Blitar: “Mengherankan…, Bapak/Ibu , apa tidak paham atau justru tutup mata kalau peraturan yang memuat istilah penghinaan dan pencemaran nama baik berpotensi jadi pasal karet dan pasti membatasi kebebasan Pers. Sekali lagi saya pertegas, haram membatasi kebebasan Pers. Dalam UU Pers, urusan Pers sudah diserahkan pada Dewan Pers dan Organisasi Pers masing-masing,” tegasnya.

Hartanto juga melototi Pasal 51 huruf E, juga tidak selayaknya. Masak penyelesaian sengketa jurnalistik dilakukan di pengadilan. Sengketa penyiaran atau sengketa jurnalistik wajib diselesaikan sesuai amanat UU Pers.

Wajib diterapkan mekanisme perselisihan Pers oleh Dewan Pers dan organisasi Pers masing masing.

Sebenarnya masih banyak lagi klausul hukum yang jelas-jelas menciptakan Peraturan Negara yang saling bertentangan atau saling berkelahi antar Undang-undang.

Segera cabut draf Revisi RUU Penyiaran. Selanjutnya ajak Dewan Pers, Pakar Pers, Komunitas Pers dan Organisasi Pers yang kredibel untuk membahas RUU Revisi UU Penyiaran.

Bila UU Penyiaran tetap mengandung cacat parah seperti saya maksudkan di atas, Pers pasti akan melawan. Khususnya anggota PJI pasti akan saya dorong untuk melakukan perlawanan ekstra keras.

“Seluruh komunitas Pers saya minta pro aktif melawan kengawuran dan kedzoliman RUU Penyiaran yang sedang digodog Dewan, sampai RUU Penyiaran itu dicabut dan bukan hanya sekedar melawan. Dewan Pers kita daulat sebagai motor penggerak seluruh elemen Pers Nasional,” pungkasnya. (Eko.B).

Sumber berita”: Ketum PJI.

Bagikan:

Iklan