infobanua.co.id
Beranda Opini  Nasib Dokter di Indonesia

 Nasib Dokter di Indonesia

oleh: Pribakti B *)

 

Malam sudah larut, namun saya belum selesai menyusun slide presentasi untuk kuliah mahasiswa kedokteran besok pagi. Saya perlu menyiapkan mereka untuk melangkah ke masa depan yang sulit. Saya akan mengajar tata laksana kegawatdaruratan di bidang ilmu kebidanan dan kandungan yang mengancam jiwa ibu dan janin. Saya bagi 40 slide untuk 50 menit tatap muka itu menjadi empat bagian. Pertama adalah ilustrasi kasus. Kedua adalah diskripsi klinis kegawatdaruratan itu. Ketiga adalah mekanisme patofisiologi yang mendasarinya , dan keempat adalah landasan etik pertolongan pasien gawat darurat tersebut.

Tengah menatapi layar laptop , saya merenungi kejadian akhir-akhir ini cukup banyak sejawat dokter  yang tersandung kasus mediko legal karena terjadi morbiditas pada pasien yang dirawatnya. Betapa setelah itu keluarga pasien akan melaporkan kasus tersebut ke polisi dengan dugaan malapraktek. Inipun secara berkala setiap harinya di media sosial. Seolah dokter sebagai pesakitan yang tidak punya celah atas kesempatan untuk mendapatkan pembelaan dan keadilan.Kita mengakui memang ada oknum sejawat dokter yang dengan sengaja melakukan segala cara untuk mendapatkan keuntungan finansial. Apakah mungkin karena skala materialisme dan komersialisasi industri kesehatan telah sampai tingkat demikian tinggi? Ataukah faktor keterjepitan ekonomi yang mendasari ? Ataukah akibat mahalnya biaya pendidikan dokter di Indonesia?

Hasil analisa Kompas (29/7/2022) , data dari 12 program studi dokter di 30 perguruan tinggi di Indonesia, baik negeri maupun swasta – menunjukkan – diperlukan Rp 388,8 juta untuk menyelesaikan jenjang sarjana kedokteran (S.Ked/S-1), belum termasuk pendidikan profesi . Bahkan untuk fakultas kedokteran di perguruan tinggi swasta, biaya yang diperlukan mencapai Rp 688,6 juta , atau Rp 88 juta per semester. Mahalnya pendidikan dokter di negeri ini tentu berimplikasi pada banyak hal, mulai dari kualitas mahasiswa yang masuk, kualitas lulusan yang dihasilkan, hingga dampak pada sistem kesehatan dan pemenuhan hak rakyat untuk hidup sehat.

Ini terbukti banyaknya dokter baru menumpuk di kota besar dan enggan bertugas di daerah, apalagi untuk daerah terpencil, tertinggal, perbatasan, dan kepulauan . Penyebabnya adalah sekarang tidak ada lagi kewajiban mereka untuk mengabdi di daerah-daerah tersebut seperti zaman orde baru . Sebaliknya yang ada adalah keinginan cepat untuk mengembalikan biaya pendidikan dokter. Tidak heran jika banyak puskesmas di pelosok Indonesia yang tidak ada dokternya walau diperkirakan  setiap tahunnya Fakultas kedokteran di negeri ini menghasilkan 20.000 dokter baru .

 

Keadaan inilah menimbulkan banyak praktik kedokteran yang menyalahi disiplin dan etika dokter. Praktik menyimpang itu antara lain diagnosis penyakit dilakukan dengan serampangan, peresepan dan pemeriksaan laboratorium yang tidak rasional, tindakan tanpa indikasi jelas, hingga perselingkuhan dokter  dengan perusahaan farmasi. Diakui atau tidak kini ruang gerak profesi dokter menjadi sempit bahkan sempit sekali. Ratusan pasal undang-undang dan keputusan menteri menata setiap gerak profesi dokter seolah ladang ranjau. Dari keterbatasan  tempat praktek,  keterbatasan kewenangan klinis, sampai ancaman denda/ganti rugi tak terbatas bahkan kurungan penjara untuk sesuatu hasil pengobatan yang tidak memuaskan pasien. Sebenarnya profesi dokter ini dibutuhkan masyarakat atau tidak sih?

Saya pun mencoba browsing ke versi digital koran nasional terkenal  dimana terpampang wajah bayi kembar siam dempet kepala setelah proses pemisahan beberapa puluh tahun yang berakhir sukses besar. Salah satu dari mereka kini telah jadi dokter. Saya cari apakah ada ucapan terima kasih kepada personil kesehatan yang telah berjerih payah menyumbangkan keringat dan segenap pikirannya agar mereka berdua bisa selamat? Tidak ada. Rasanya ada nilai-nilai yang hilang dalam masyarakat kita.

Nilai-nilai bersyukur, berterima kasih atas pertolongan dokter, telah hilang dan telah berganti dengan nilai  hak saya, hak asasi, tanpa peduli lagi pada pengertian bahwa untuk memiliki hak itu ada harga yang harus dibayar. Dokter adalah manusia. Dokter adalah individu yang merupakan bagian masyarakat dan merekapun dibentuk oleh masyarakat. Sayangnya isu negatif ini akan berujung pada lahirnya ratusan pasal peraturan yang membelit profesi  dokter. Lalu bagaimana rantai lingkaran setan ini dapat diputus?

Jawabannya dibutuhkan solidaritas positif dari para dokter untuk menjaga citra positif profesi. Untuk itu pendidikan dan pelatihan profesi dokter selayaknya menyesuaikan kebutuhan masyarakat. Apalagi di era Jaminan Kesehatan Nasional sekarang ini (BPJS), dengan konsep asuransi sosial bidang kesehatan macam ini butuh dicermati lebih saksama agar tidak muncul arogansi yang mematahkan kaidah asuransi kesehatan publik. Dibutuhkan dialog multilateral berbagai pihak agar tercipta sistem penjaminan kesehatan masyarakat yang bukan dari aspek kuratif semata, melainkan totalitas sinergi yang berkeadilan.

Perlu diingat, mempertahankan manusia Indonesia tetap sehat secara jasmani, rohani, dan sosial adalah bagian dari memajukan kesejahteraan umum sebagaimana diamanahkan dalam tujuan negara. Dan itu tidak mudah. Karena masalah kesehatan bukan saja masalah kuratif, melainkan juga aspek promotif dan preventif. Dan bila ditanya bagaimana peran negara selama ini terhadap profesi dokter selama ini, baik perlindungan hukum, tunjangan , jaminan kesehatan dan pendidikan untuk keluarganya, bisa dikatakan masih minim. Realitanya para dokter Indonesia harus berjuang sendiri untuk kesejahteraan hidup keluarganya, tepatnya tidak dijamin oleh pemerintah dan negara.

Maka ketika slide kuliah saya sudah lengkap 40, timbul rasa was-was dalam hati. Berhasilkah saya memberi para mahasiswa kedokteran bekal intelektual yang hebat? Memang dengan bedside teaching dan simulator , mereka akan menjadi dokter yang terampil .  Namun mana jatah jam kuliah untuk menjamin mereka untuk bersikap bijak, penuh empati dan berbudi luhur terhadap kesehatan bangsanya ? Maka dari itu saya ganti 10 slide terakhir kuliah saya dengan memasukkan sumpah profesi luhur dokter “saya akan mengutamakan kesehatan penderita” dalam jabaran yang dimengerti oleh mahasiswa kedokteran . Terakhir  saya tutup slide  dengan catatan berupa Take home massage untuk mereka yang calon pengganti saya nantinya . “Jadilah dokter yang luhur budinya . Ikhlas pengabdiannya sekalipun hal itu tidak menjamin kesejahteraan dokter Indonesia dan kebal tuntutan mediko-legal. Tetaplah berbuat kebaikan sebesar-besarnya untuk bangsa ini”.

 *) dokter di RSUD Ulin Kota Banjarmasin

 

Bagikan:

Iklan