infobanua.co.id
Beranda Opini Yang Mbel dan yang Mbelgedes

Yang Mbel dan yang Mbelgedes

Pribakti B

Oleh: Pribakti B

 

 

Ada sedikit perbedaan tumpang tindih antara kata ” mbel ” dan ”mbelgedes”. Keduanya kita dapatkan dari bahasa Jawa. Kata ”mbel” adalah ungkapan ketidak percayaan berdasarkan pengalaman empirik yang berulang dan disimpulkan atas suatu kinerja atau penilaian akan sesuatu prestasi atau nilai-nilai tertentu yang tidak meyakinkan. Kata ”mbelgedes” dipakai sebagai ungkapan penyeru kesimpulan penilai atas suatu kinerja mutu, prestasi atau sesuatu keadaan yang kurang positif , karena dianggap lemah, lembek dan tidak dapat diandalkan.

Misalnya begini, bila seorang yang tidak dikenal , tanpa prestasi istimewa, lalu ” ujug-ujug” diangkat jadi ketua  organisasi pengelola pendidikan tinggi sebuah profesi tanpa pernah berkecimpung di bidang itu sebelumnya, maka orang itu bisa disebut ketua mbelgedes.  Sebuah kesebelasan sepak bola yang kalah melulu dan tidak menampilkan prestasi yang menggembirakan, maka kesebelasan sepak bola seperti itu bisa disebut kesebelasan mbelgedes.

Contoh lain, bila kita beli baju sekali cuci langsung brodol atau luntur , maka baju seperti itu bisa juga dibilang juga sebuah hasil produk garmen mbelgedes. Bila kita beli rumah KPR yang sekali huni langsung atapnya bocor saat hujan, tembok retak, sanitasi macet , pintu dan jendela tak bisa ditutup, jelas rumah KPR mbelgedes. Anak muda yang memble tak suka kerja, malas belajar dan adatnya cuma foya-foya melulu dapat juga dibilang anak muda mbelgedes. Orang tua tak mendidik, tak memberi contoh baik dan tak bertanggung jawab kepada anak dibilang juga orang tua mbelgedes. Orang tua dan anak muda memble seperti ini sekarang banyak jumlahnya. Mbelgedes adalah sebuah kememblean yang nyaris permanen.

Termasuk bila sebuah partai politik oportunis yang kerjanya mencari wacana politik semu, dompleng sana dompleng sini untuk mencari tumpangan kekuasaan untuk suatu kepentingan sendiri bisa juga dibilang partai politik mbelgedes. Partai politik beginian dianjurkan untuk tidak dipilih mewakili rakyat dalam pemilu lokal, regional maupun nasional yang akan datang. Sebab kita tidak memiliki data mengenai profil para politisinya. Misalnya, siapa mereka, sekolahnya apa, apa latar belakang ideologi mereka- kalau mereka memang punya ideologi – dari keluarga macam apa mereka berasal, mengapa mereka memilih dunia politik sebagai karier. Adakah pilihan lain dan aspirasi politik macam apa yang mereka miliki. Inipun jika mereka punya suatu aspirasi politik tertentu.

Demikian juga dengan para  politikus dan birokrat mbelgedes yang konon menurut penelitian punya budaya paling unggul dalam hal korupsi. Sudah banyak bukti bahwa trigonometri mbelgedes antara politikus-partai politik-birokrat itu sangat berbahaya bagai kemajuan bangsa dan negara. Sebab merekalah triger utama kemerosotan masyarakat dalam sebuah bangsa dan negara mbelgedes. Kenapa? Karena korupsi yang menumbuhkan kinerja bangsa mbelgedes itu bukan hanya tidak adil dan tidak bermoral, tetapi juga melumpuhkan vitalitas energi yang menjadi syarat utama kerja keras masyarakat untuk mencapai kemajuan.

Korupsi adalah gejala kemalasan jalan pintas untuk meraih sebanyak-banyak terobosan keuntungan melalui anomali kejujuran dan keadilan. Celakanya , cara hidup mbelgedes seperti itu rupanya amat digemari di negeri ini karena mendatangkan nikmat dan prestise duniawi yang disemukan sebagai rezeki jatuh dari langit ketujuh. Dalam sejarahnya yang panjang di Barat maupun di Timur , bangsa mbelgedes memang suka mengecok diri sendiri dengan angan-angan langit ketujuh. Melegalisasi ketidakjujuran dengan berbagai mitos kelangitan yang dianggap sah, sakral dan sakti. Padahal mbel!

Dan begitulah pula biasanya pejabat menjatuhkan sanggahan yang klasik dan klise. Misalnya: ”Itu tidak benar….semua sudah dipertimbangkan dengan saksama….semua sudah sesuai dengan prosedur dan peraturan yang berlaku….semua sudah sesuai dengan undang-undang ….kami belum mendapat laporan resmi….semua akan diusut dan diselesaikan sampai tuntas…..bila bersalah pasti kita beri sanksi dan lain sebagainya. Parafrase jargon-jargon kalimat birokrasi kekuasaan yang klasik dan klise, tetapi menimbulkan reaksi ketidakpercayaan publik dalam satu kata seru saja: mbel!

Di bidang hukum peradilan misalnya. Bagaimana mungkin kesenjangan pertimbangan antara tuntutan jaksa dan vonis hakim bisa begitu menganga. Bagi para ahli – semuanya mungkin dalam prespektif dinamika peradilan hukum. Tetapi, bagi awam yang mengerti rasa keadilan tapi tidak banyak tahu tentang hukum , kesenjangan peradilan dengan segala keanehannya sungguh membingungkan dan membangunkan reaksi mbelgedes yang di-mbel-kan.

Misalnya saja, ada jaksa menuntut tertuduh hukuman mati. Hakim memutuskan hukuman penjara 20 tahun saja. Kok ? Mati itu abadi, hidup 20 tahun itu pendek. Senjang yang kelewat jauh. Koruptor dituntut jaksa hukuman penjara seumur hidup, hakim punya putusan bebas. Hidup bebas dengan hukuman kurungan penjara seumur hidup adalah kesenjangan antara bumi dan langit. Ini sandiwara lucu. Para koruptor dituntut jaksa hukuman berat. Vonis hakim putusan bebas merdeka! . Inilah negeri mbel yang keadilan hukumnya masih terasa mbelgedes.

Bagikan:

Iklan