Beda Terapi Medis dan Alternatif

Oleh: Pribakti B
Masyarakat sekarang dibikin bingung oleh banjirnya berbagai informasi, termasuk informasi pengobatan atau terapi. Kita meyakini sebagian informasi yang memenuhi media sosial sekarang ini cenderung bersifat menyesatkan. Seolah-olah obat dan upaya mengobati itu dilihat sebagai yang betapa sederhana. Harus diakui kita masih terkungkung oleh pandangan mitos, magis dan takhayul. Juga dalam hal berobat dan pengobatan, walau Kementerian Kesehatan RI sudah melarang penyiaran pengobatan alternatif. Untuk diketahui dalam menentukan obat, dunia medis perlu waktu puluhan tahun melalui berbagai uji, baik uji khasiat, uji toksikolgi dan klinis apakah tidak membahayakan tubuh manusia.
Adakah bukti ilmiahnya, selain memang benar berkhasiat, apakah juga aman bagi tubuh. Berkhasiat saja tapi tidak aman, obat tidak boleh dipakai. Bahkan yang tadinya sudah lolos uji sekalipun, baru kemudian hari terkuak ada efek buruknya setelah dipakai lama, obat harus ditarik dari peredaran. Bisa dibayangkan kalau obat , pengobatan dan penyembuhan alternatif, bahan berkhasiat belum sepenuhnya teruji efek jeleknya bagi tubuh. Demikian pula dengan cara pengobatan atau penyembuhan. Selama bahan berkhasiat tidak mengandung racun berbahaya dan cara pengobatan tidak menganggu tubuh, bukan masalah bila ternyata tidak memberi khasiat. Dalam hal ini kerugian pasien terbatas pada penipuan belaka.
Maka dari itu, informasi buah X beredar luas bisa menyembuhkan penyakit lutut, dan ada yang mencoba, lalu tidak berhasil sembuh, tidak ada kerugian berarti. Namun tidak demikian bila kasusnya kanker atau penyakit berat lainnya, tentu dampaknya sangat berbeda. Barangkali itu pula sebabnya mengapa di negara kita kebanyakan pasien kanker yang berobat ke dokter tergolong sudah terlambat di mata medis karena pasien mampir dulu di “orang pintar”. Kanker payudara stadium awal masih dengan mudah diobati medis dan sembuh. Namun karena pasien memilih berobat alternatif dan tidak murah pula, setelah beberapa tahun, ternyata tidak sembuh dan malah kankernya memasuki stadium lanjut. Ketika pasien baru sadar kankernya tidak sembuh dan baru datang ke dokter, dokter sudah angkat tangan karena secara medis kankernya sudah masuk stadium terminal untuk ditolong medis
Ini semua menunjukkan bukti bahwa bukan karena berasal dari alam, maka pasti aman. Kita mengenal jamur beracun selain ikan beracun, dan tumbuhan beracun. Dalam bahan alam selain zat berkhasiat , terkandung pula zat lain yang mungkin bersifat racun bagi tubuh, maka perlu uji toksikologi, Hal ini berlaku pada jamu, Jamu itu adalah bahan kasar yang memasukkan semua unsur yang terkandung dalam bahan simplica baik daun, akar, biji, kayu, umbi, yang secara tradisi turun temurn diwariskan sebagai bahan berkhasiat. Selama tidak terkandung bahan racun, tentu aman saja.
Jamu yang diuji khasiat dan disaripati zat berkhasiat , akan naik kelas menjadi herbal. Herbal yang menempuh protokol uji klinis lebih lanjut akan naik kelas menjadi fitofarmaka. Fitofarmaka ini yang statusnya lebih mendekati sebagai obat. Yang harus dipahami untuk menemukan bahan alam yang menjadi obat perlu waktu dan biaya yang tidak kecil. Bumi Indonesia memiliki begitu beragam kekayaan hayati berkhasiat. Hanya saja kita belum memanfaatkannya dengan mengubahnya menjadi obat, karena soal biaya besar.
Dunia kedokteran bukan anti alternatif. Cuma hanya alternatif yang masuk nalar medis yang bisa diterima dunia medis. Kita mengenal Complementary Alternative Medicine, sebut saja akupunktur, akupresur, homeopathy, chiropractice tapi bukan setiap apa saja yang menamakan diri alternatif bisa diterima dunia medis. Karena itu bila ada pengobatan alternatif yang mengklaim bisa mengobati penyakit apa saja harus diterima sebagai sebuah kebohongan. Tidak mungkinlah ada obat untuk segala penyakit. Makin besar klaim untuk banyak penyakit makin besar bohongnya. Penyakit tekanan darah rendah dan tekanan darah tinggi tidak sama mekanisme terjadinya, mana mungkin keduanya sekaligus bisa diatasi dengan obat yang sama. Contoh lain keputihan ada empat penyebab, tidak mungkin obatnya hanya satu macam. Beda penyebab , beda obatnya. Apalagi kalau hanya dengan sebuah tongkat, misalnya, segala penyakit bisa disembuhkan, sudah pasti tidak benar. Tawaran ada air alkali sudah berapa banyak masyarakat tersesat meminumnya yang ternyata kemudian dilarang oleh Kementerian Kesehatan, karena memang tak masuk nalar medis.
Masalahnya di Indonesia, yang bukan berkompetensi medis, bebas berpraktik seakan ahli medis. Padahal dimana-mana negara hanya yang punya kompetensi medis yang boleh berpraktek medis. Orang bukan berlatar belakang medis, sekadar menawarkan suatu obat sajapun ada pasal hukumnya. Apalagi bila berpraktek medis. Kita membaca banyak beredar tawaran diet, pengobatan, penyembuhan, yang peliknya bila tidak dilarang hanya pihak medis yang bisa menalar kalau itu tidak benar.
Untuk itu kalau sudah ada obat atau cara kedokteran untuk menyembuhkan, tak perlu mencari cara lain, apapun alasannya. Bahwa dengan cara medis sekalipun belum tentu menyembuhkan,pasti ada beberapa faktor penyebabnya, sehingga mestinya kita tidak harus lekas-lekas berkesimpulan salah ihwal citra medis. Kalau ada kejadian gagal dalam pengobatan medis bukan semata faktor obat dan teknologis medisnya, melainkan ada faktor diluar itu. Mungkin soal misdiagnosis, soal rasa percaya pasien, atau sudah benarkah mengkonsumsi obat, sudah tepatkah cara memeriksa dan itu semua sebuah komoditas medik. Komoditas medik berbeda dengan komoditas lain karena bersifat khas. Sesungguhnya transaksi dokter-pasien bersifat transaksi therapetik, yang tidak ada jaminan seratus persen pasti sembuh, oleh karena tubuh kita bukanlah mesin. Disana ada pula jiwa, roh, selain latar belakang pasien. Semoga bermanfaat.