Pernyataan Anggota DPRD Danu Hamidi Disesalkan Oleh Sekjen Kompak Reformasi, Pancajihadi Al Panji.
Karawang, Infobanua.co.id – Pernyataan anggota DPRD Danu Hamidi di salah satu media cetak, pada (14/6) terkait belum adanya perubahan Perda no 14 tahun 2016 tentang perangkat Daerah dan dijadikan pegangan eksekutif sebagai dasar penunjukan Plt. Direktur RSUD.
Pernyataan Danu itu disesalkan oleh Sekjen Kompak Reformasi, Pancajihadi Al Panji.
Selasa,15/06/21
“Kami menyesalkan ada pernyataan seperti itu tanpa adanya sikap yang jelas dan seolah mengamini. Dan itu tidak hanya Danu Hamidi saja, ternyata sikap beberapa anggota dewan juga seperti mengamini ketika mengadakan RDP dengan BKPSDM beberapa waktu yang lalu terkait penunjukan dr. Fitra menjadi Plt. Direktur RSUD Karawang” ungkap Al Panji.
tidak habis pikir legislatif sebagai pemilik fungsi pengawasan dan legislasi, harusnya bersikap tegas dan mengkaji setiap kebijakan eksekutif bukannya jadi pengamat.
“Bila kita kaji lebih dalam, memang benar bahwa Perda 14 tahun 2016 tentang Perangkat Daerah mengacu ke Peraturan Pemerintah No 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah. Dan Perda tersebut belum disesuaikan atau direvisi menyesuaikan PP 72 Tahun 2019. Dan bukan menjadi alasan bila belum ada Perda baru lantas menjadikan Perda itu menjadikan dasar hukum, padahal bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi” tegasnya.
Menurut Al Panji, Perda Perangkat Daerah No. 14 Tahun 2016 itu terdiri dari 24 pasal, meskipun Perda tersebut merupakan turunan dari PP No. 18 Tahun 2016 namun hanya ada dua Pasal yang bertentangan dengan PP 72 tahun 2019. Yaitu Pasal 11 Kepala UPTD Rumah Sakit Daerah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 10, dijabat oleh dokter atau dokter gigi yang ditetapkan sebagai pejabat
fungsional dokter atau dokter gigi dengan diberikan tugas tambahan.
“Ini bertentangan dengan Pasal 95 PP 72 Tahun 2019, dimana dalam pasal itu berbunyi Direktur rumah sakit umum
Daerah kabupaten/kota kelas A dan kelas B, dan Direktur rumah sakit khusus Daerah kabupaten/kota kelas A merupakan jabatan eselon II.b atau jabatan pimpinan tinggi pratama” imbuhnya.
pasal dalam Perda bertentangan dengan pasal dalam aturan yang lebih tinggi, dalam hal ini PP. Menurut teori hukum ada istilah Lex superior derogat legi inferior, dimana asas hukum yang menyatakan bahwa hukum yang tinggi mengesampingkan hukum yang rendah.
“Peraturan yang sejajar saja harus dikesampingkan bila ada aturan yang lebih akhir, seperti aturan direktur RSUD Dalam PP 18 tahun 2016 pasal 95 hanya mensyaratkan “dijabat oleh dokter atau dokter gigi yang ditetapkan sebagai pejabat fungsional dokter atau dokter gigi dengan diberikan tugas tambahan”, dan itu tidak mensyaratkan jenjang jabatannya.” dan pasal ini bertentangan dengan Pasal 95 PP no 72 Tahun 2019. Berbunyi Dan direktur rumah sakit khusus Daerah kabupaten/kota kelas A merupakan jabatan eselon II.b atau jabatan pimpinan tinggi pratama” jelasnya.
Katanya, dalam asas hukum pertentangan kesetaraan ini dikenal dengan istilah Lex posterior derogat legi priori adalah asas hukum yang menyatakan bahwa aturan yang terbaru (lex posterior) mengesampingkan aturan yang lama (lex prior).
“Kami berharap kepada DPRD, bersikap tegas jangan sampai tertib hukum ini diabaikan. Dan kalau melihat sikap mereka setelah RDP maka sangat jauh untuk menggunakan hak interpelasi yang selama ini pernah digaungkan. Dan bukan mustahil bila ada pembiaran, eksekutif berpegang kepada Perda tersebut, maka dr. Fitra tidak hanya jadi PLt direktur saja, melainkan akan menjadi Direktur definitif meskipun bertentangan dengan peraturan yang ada”
Dan jika menunggu Perda direvisi maka akan memakan waktu bertahun-tahun ditambah lagi berbenturan dengan tarik menarik orang-orang yang kepentingan terhadap terhadap dr. Fitra pungkasnya.
Iswanto.