infobanua.co.id
Beranda BANJARMASIN Puasa, Islam dan Bangsa   

Puasa, Islam dan Bangsa   

oleh: Pribakti B *)

 Dulu, orang yang sebentar-sebentar bicara “untuk bangsa” dan kadang lebih luas, “untuk bangsa dan negara”, mudah sekali diketahui, bahwa dia pastilah golongan “kesatria”. Dia merasa hanya dirinya , dan kelompoknya, yang paling patriotik yang siap membela dan melindungi seluruh bangsa dan negara. Orang-orang lain dianggap tak ada artinya. Padahal ungkapan “untuk bangsa” apalagi “untuk bangsa dan negara” yang begitu melambung ke langit, dan sering tak punya akar di bumi, hanya “gombal “ tak berguna. Di balik kata itu tak mustahil ada penyelewengan kekuaasaan.

 

Makin sering ungkapan itu diperdengarkan kepada khalayak oleh orang “besar”, orang yang merasa dirinya berada dalam posisi paling tepat menyatakannya, “gombal”nya makin jelas. Dan terasa lebih compang-camping, lebih tak berguna, dibandingkan dengan hal yang sama yang diucapkan orang biasa. Sebab kita tahu, meskipun ucapan itu keluar dari orang besar, maknanya, sejauh kita amati, hanya kecil dan selalu kecil. Terkadang malah tanpa makna sama sekali.

 

Ideologi “untuk bangsa” atau “untuk bangsa dan negara” itu dulu begitu lenturnya sehingga apa saja, demi alasan ideologi itu , boleh dilakukan. Menempeleng orang boleh, asal demi kepentingan bangsa atau negara. Memfitnah orang yang bukan PKI sebagai PKI, dan yang bersangkutan dibui bertahun-tahun tanpa alasan, pernah dianggap sah dan hal demi kepentingan bangsa dan negara. Merampas rumah besar, merebut aset bisnis orang lain, memangkas karier orang tanpa belas kasihan, merupakan perkara lumrah dan pernah menjadi kebiasaan yang dianggap terpuji.

 

Orang-orang itu sekarang sudah tua. Sebagian mungkin bahkan sudah tak ada. Yang lain mungkin sedang sakit-sakitan dan menderita sakit parah tanpa bertemu obatnya. Sebab sakitnya boleh jadi tak ada hubungan dengan khazanah dunia kedokteran. Mungkin sakitnya psikologis, yang timbul karena rasa berdosa yang dalam, yang tak bisa diatasi dan dia tak tahu bagaimana mengatasinya.

 

Orang bijak berkata, perkara seperti ini ibaratnya nasi sudah menjadi bubur. Para korban mereka menderita dan mendendam, dan mengutuk habis-habisan, tapi orang yang dulu “besar” itu sudah terlanjur kembali menjadi orang biasa, rakyat jelata, dan mungkin lebih jelata dari korban-korban yang berjatuhan karena ulah mereka. Sedangkan mereka tak tahu bagaimana menemui para korban dan meminta maaf sedalam-dalamnya. Para tokoh, para pejabat, yang sekarang berkuasa, yang juga berbagi gagasan ideologis dengan mereka tadi, mungkin bisa belajar sesuatu yang penting, dan mengurangi arogansi yang melekat di baju dinas mereka. Mungkin kini mereka sadar bahwa ada sesuatu yang lebih baik, lebih mulia dilakukan  selagi kekuasaan masih di tangan.

 

Dengan begitu, akan lahir tokoh, penguasa, pejabat, yang masih punya kesempatan luas untuk berbuat baik bagi orang banyak . Dengan menggunakan kekuasaannya, dengan duit, dengan program, dengan kegiatan, mereka bisa mengambil langkah penting dan mewujudkan kebijakan publik demi kepentingan  orang banyak. Mungkin tak perlu harus disebut dengan ungkapan melambung “demi kepentingan bangsa atau negara”. Tindakan “murah hati” menyantuni publik, justru akan memberi mereka kenyamanan hidup, jauh lebih penting, lebih bermakna dibandingkan dengan kata-kata muluk. Bagaimana kalau kita, yang betul-betul merasakan kekacauan hidup sekarang, yang begitu “morat-marit” tak menentu ini, kita berpuasa untuk penyembuhan derita bangsa yang sekarang mengenaskan ?

 

Kita tahu, menurut kitab suci, puasa itu memang khusus untuk Allah Yang Maha Penyayang. Tapi saya kira, Allah tak akan berkeberatan sedikitpun, bila kita memohon dengan ketulusan bahwa kiranya Dia berkenan mengijinkan agar puasa kita – puasa seluruh umat Islam di Tanah Air – ditujukan pula untuk membikin kehidupan bangsa menjadi lebih baik. Kita memohon Allah Yang Maha Pengampun berkenan, mengobati atau memberi “jamu” pada bangsa kita yang porak-poranda ini agar bisa sembuh, dan hidup lebih baik, agak sedikit normal . Punya cita rasa yang baik untuk membangun kebudayaan yang adil, akomodatif, dan memberi kesempatan tumbuhnya semangat dan gagasan filosofis yang disebut multikulturalisme  itu berkembang di Tanah Air-ku Indonesia, tanah tumpah darah yang mulia. Didalamnya, atas izin dan berkah Allah Yang Maha Pengasih, kita, seluruh etnis yang pluralistik ini untuk saling mengasihi, saling melindungi, saling menyelamatkan satu dengan yang lain, seperti janji kita: assalamu’alaikum warahmatullahi wa barakatuh, yang kita ucapkan setiap saat dan berkali-kali setiap hari.

 

Kita harus merasa malu dan menganggap puasa kita batal, bila kita berbohong. Jadi , kita tidak boleh berbohong. Dengan begitu, janji dan wujud salam yang kita tebarkan kepada orang lain, harus dipenuhi. Kita selamatkan orang lain betulan dan kita lindungi betulan mereka, siapapun mereka itu. Dengan begitu, kita memetik hikmah terdalam yang terkandung di dalam puasa, untuk bangsa kita, tanpa perlu digembor-gemborkan. Inilah puasa untuk bangsa, yang tulus, dan besar kegunaannya untuk memperkokoh kehidupan kita sebagai umat manusia di bumi yang semakin kering kerontang ini. Semoga selamat negeri ini!

 

*) Dokter RSUD Ulin Banjarmasin

 

Bagikan:

Iklan