infobanua.co.id
Beranda BANJARMASIN Politik: Soal Akal, Bukan Perasaan

Politik: Soal Akal, Bukan Perasaan

oleh: Pribakti B *)

Tak dapat dipungkiri ada bayangan kelam menyongsong kontestasi Pilpres 2024. Kekhawatiran banyak pihak menjadi pertanda bahwa praktik “politik dengan segala cara” bukanlah energi positif bagi negeri ini. Apalagi berlatar pengalaman pemilu sebelumnya, api yang tersulut di setiap ajang pertarungan politik tidak mudah dipadamkan. Harus diakui memang politik tak pernah punya perasaan.

Politisi tak usah diimbau untuk bertindak dengan kebaikan hati dan menurut prinsip –prinsip etis di dalam hidup. Nilai-nilai yang bicara soal perkara baik-buruk atau mulia-hina baginya tak penting sama sekali. Politik adalah robot atau makhluk setengah robot. Robot hanya mesin. Politik pun bergerak seperti mesin, benda mati meskipun bisa bersuara. Benda tak mengandung perasaan.

Ketika ia harus berjalan, ia berjalan. Ketika ia harus mendekati tujuan , ia mendekatinya. Ia mungkin merunduk-runduk dalam kegelapan atau dengan memasang jebakan-jebakan untuk mempersulit lawan yang menghalanginya. Kalau perlu, ia menciptakan kegelapan demi kegelapan agar segenap langkahnya tak dibaca musuh, agar keculasannya tak tampak sebagai keculasan. Tak jarang , orang lainlah yang dipojokkan ke dalam suatu situasi tanpa pilihan agar bisa dianggap culas. Bisa juga musuh ditunggu di suatu tikungan tak terduga untuk dikecoh, dicelakai, atau dibikin kalang kabut agar ia sendiri bisa melenggang dengan mudah mendekati tujuan pokoknya. Dan demi kelancaran langkahnya mendekati tujuan, semua ranjau dan penghalang yang dipasang musuh disapu bersih lebih dahulu.

Dalam “politik yang efisien” itu, politik tak pernah mengalami hiruk pikuk yang memang tak perlu. Tetapi tujuan bisa dipetik semudah memetik tomat atau mangga dalam jangkauan tangan kita sendiri. Ahli strateginya memang jeli menerapkan strategi dan banyak taktik tak terlihat untuk membuat tujuan politiknya begitu mudah dicapai. Kalau perlu dengan tenaga dan biaya lawan-lawan politiknya. Pendeknya dalam politik, tujuan akhir dianggap segalanya.

Politik juga tak terdapat rasa susah, senang, sedih atau gembira. Dengan sendirinya, kita tak boleh bicara perasaan di dalam politik, karena yang disebut perasaan pun tidak ada. Politisi sejati tak boleh dan tak pernah marah karena langkahnya mentok di jalan yang langsung berhadapan dengan strategi musuh. Sebaliknya, ia mengakui kehebatan musuhnya dan menyadari kekurangan-kekurangannya sendiri. Politisi sejati juga tak boleh menaruh dendam kepada lawan-lawannya, termasuk apabila mereka memasang jerat untuk mencelakai atau bahkan membunuh. Politisi sejati adalah jagoan tulen bisa dengan mudah dan dingin mengatakan – tanpa mengutuk dan menyesali – bahwa usaha membunuh merupakan stategi politik paling logis yang mereka punya.

Jelasnya politik adalah soal akal, bukan perasaan. Unsur-unsur perasaan , panggilan hati , kasih sayang , dan segenap kemurahan biasanya omong kosong. Dalam politik yang tak punya perasaan, politisi dengan sendirinya hanya menjadi robot, mesin, dan benda yang hendak memenuhi keserakahannya sendiri. Kalau ada politisi yang dulunya galak melampaui serigala demi membela kekuasaan dan kita punya catatan betapa ganasnya ia dulu kepada rakyat, tiba-tiba bicara “jangan lukai hati rakyat”, haruskah kita percaya kepada pemihakannya yang dimaksudkan untuk mengesankan bahwa dirinya penuh kasih sayang dan menjadi pelindung rakyat? Jawabannya  : tidak!

Lebih-lebih bila ia juga tergolong politisi yang tak punya hati. Keganasan tak mungkin berubah secara mendasar dalam waktu pendek. Peta kehidupan jiwanya menggambarkan kepada kita, mustahil perubahan sikap dan cara hidup itu terjadi secara dadakan karena ia ingin berkuasa lagi. Hasrat untuk berkuasa kembali berbohong kepadanya dan berbohong juga kepada kita. Pernyataan itu bukan wujud komitmen kerakyatannya, tetapi gambaran kehendaknya untuk berkuasa. Pernyataannya hanya menjadi alat yang diharapkan mendukung cita-cita politiknya. Dengan kata lain, ini hanya omong kosong tanpa makna.

Politik tak pernah punya perasaan itu kita lihat juga dengan jelas telah dipamerkan oleh para politisi  selama masa kampanye, disusul lagi sesudah suara perolehan dalam pemilihan legislatif dihitung. Ada yang kaget. Ada yang kecewa. Ada yang bersungut-sungut. Ada pula yang marah besar karena harapannya tak terpenuhi. Serangan kepada pihak lain yang lebih baik citranya di mata publik dilancarkan dengan gencar, segencar-gencarnya melalui berbagai jenis media  massa. Politik memang bisa ditempuh dengan banyak cara : membuka aib, mengungkit kelemahan, dan membeberkan segenap kesalahan lawan. Lawan ditelanjangi di depan publik.

Bagi politisi biasa, mungkin politisi kelas ecek-ecek , merasa puas dengan langkahnya. Melihat lawannya tak berdaya, ia merasa hebat karena kepuasan yang dikejar. Ia tak menyadari bahwa tindakannya bisa mengundang dendam kesumat pada masa depan. Boleh jadi yang melakukan balas dendam itu pihak lain yang tak diduga sama sekali. Ia lupa bahwa publik menilainya. Ia lupa , mayoritas yang diam sebenarnya tidak diam. Ia lupa, berpolitik dengan segala cara itu kejam. Fitnah balas fitnah, bunuh balas bunuh, semua ada di dalamnya. Ia juga lupa, berpolitik dengan segala cara akan membunuh diri sendiri. Menurut Anda, bagaimana?

*) Dokter RSUD Ulin Banjarmasin

 

Bagikan:

Iklan