infobanua.co.id
Beranda BANJARMASIN Akal-akalan Hukum Kita        

Akal-akalan Hukum Kita        

Pribakti B

oleh: Pribakti B *)

 Sejatinya akal, rasio, pemikiran, hanya sebagian kecil dari rahmat Tuhan pada kita. Kekuatan pemikiran yang menghasilkan ilmu hukum hanya mampu menyelesaikan sebagian soal-soal dalam hidup kita dan membiarkan sebagian persoalan lain terlantar. Ini karena ketika akal bertemu akal, ilmu berhadapan dengan ilmu, pemahaman rasional berbenturan dengan pemahaman rasional lain, bukan cuma sering gagal memecahkan suatu perkara melainkan malah sering pula menciptakan perkara baru.

 

Seruan agar kita tak kehilangan akal sehat bisa menjadi nasehat buruk bahkan salah. Nasehat ini kini wujudnya kering kerontang dan menjerumuskan kita kedalam lembah gersang dan panas yang bisa membakar hidup kita. Juga hidup bangsa secara keseluruhan. Penyebabnya, kira-kira karena kita terlalu kagum akan kecerdasan akal dan rasio serta seluruh daya dan kekaguman tercurah pada usaha mencerdaskan akal kita. Kebudayaan politik kita lebih memberi perhatian dan mengutamakan mereka daripada menaruh hati pada janji konstitusi. Selebihnya, juga karena idiotnya sistem sosial dan akal-akalan hukum kita anut. Akhirnya kita terlatih tidak sensitif terhadap derita sesama.

 

Kita menjadi dungu dan membiarkan banyak pejabat merampok tanpa malu-malu uang rakyat yang terlantar tadi, sambil di setiap pemilu, lalu berlagak seperti orang suci yang baru turun dari langit buat menyelamatkan peradaban manusia. Sudah sejak lama negeri ini disebut-sebut sebagai negara hukum . Tepatnya sejak zaman presiden Suharto segenap kriminalitaspun didasarkan pada hukum. Merampok uang rakyat ada kepresnya dan di tingkat lebih rendah ada peraturan yang kelihatan tertib dan rapi menyembunyikan perampokan itu. Luar biasa. Disini orang pintar berubah menjadi orang nista.

 

Singkat cerita pak Harto direformasi dan semua kekuatan reformis tanpa kecuali – bertekad membersihkan segenap masalah yang ditinggalkan orde baru. Waktu itu kita bersemangat luar biasa, dan saking bersemangatnya kita lupa bahwa semata karena aturan hukum yang mensahkan kedudukan mereka. Elemen-elemen yang sejak lama turut serta dengan lahapnya mengisap darah rakyat, hari ini faktanya masih nongkrong di atas singgasana megah. Lewat berbagai partai mereka tetap jaya meskipun jelas nista. Maka, tampaklah oleh kita , segenap langkah reformasi di segala bidang tidak bisa jalan.  Penjahat ditarik ke meja hijau tak bisa dijerat karena dalih pembenaran yang sudah lama diatur sehingga kejahatannya tak kelihatan.

 

Tampaknya akal yang melahirkan hukum, yang mengatur hidup kita, yang kita taati dan menjadi kiblat kita, juga kiblat dalam politik dan penegakan demokrasi telah menjadi jerat bagi leher kita sendiri. Leher kaum reformis. Urat-urat di leher mereka lumpuh. Bahkan seluruh tubuh dan jiwa mereka pun ikut lumpuh. Satu dua orang di posisi eksekutif di legislatif dan di yudikatif yang masih sadar yang menampakkan usaha bangkit dan mencoba memenuhi janji mereka dengan rakyat. Tetapi, sayangnya kemudian mereka berkelahi sendiri. Ujungnya kita dibuat lelah dan muak, karena harus membayar dengan harga mahal tiap menyaksikan pertarungan mereka di sidang-sidang DPR.

 

Masing-masing pihak memamerkan kecerdasan akal pikiran mereka, tetapi dalam kecerdasan itu terdapat pula watak nista. Ini karena sikap licik untuk menang-menangan sendiri. Disitulah pangkal kemacetan kehidupan bangsa ini terletak. Landasan hukum yang mereka agungkan cuma berarti hukum sebagaimana dieja huruf demi huruf, kata demi kata dan barangsiapa lebih cerdas dan lebih licik, menanglah dia.

 

Maka demi hidup bangsa ini yang lebih baik di masa depan, kita tak butuh pemimpin dan corak kepemimpinan yang begini wujudnya. Kita butuh pemimpin orang pintar. Tapi kalau ada, orang pintar sekaligus bijak. Kalau itu tak ada, cukuplah orang biasa asal bijak. Sebab di negeri ini rupanya  jabatan baik di eksekutif, di legistatif  maupun di yudikatif mudah membuat air jernih menjadi keruh. Sepertinya kursi jabatan mudah membuat orang pintar kehilangan sikap bijak dan menjadikan orang bijak menjadi makhluk hina dan nista.

*) Dokter RSUD Ulin Banjarmasin

 

 

Bagikan:

Iklan