Merawat “Rumah Besar” Indonesia
oleh: Pribakti B *)
Baru berumur 78 tahun (Proklamasi 1945), negeri ini serasa sudah menua. Kalau menandai dengan peristiwa Sumpah Pemuda 1928 bangsa ini juga serasa cepat merapuh. Hal ini tampak menjelang pilpres 2024 tahun depan , kohesi nasional negeri ini rasanya merenggang. Perbedaan yang pada masa kebangkitan nasional awal abad XX menjadi elemen perekat, sekarang justru menjadi unsur perenggang.
Kita semua tahu , dalam sejarahnya Indonesia dibangun di antara timbunan perbedaan. Dari serakan etnik, ras, kedaerahan, agama, golongan, ideologi politik, berdirilah “Rumah Besar” Indonesia. Sebagai bangsa bhineka, tetapi harmoni.
Perbedaan adalah fakta obyektif. Untuk itu perbedaan perlu dihormati, tetapi pelecehan terhadap perbedaan adalah pikiran sempit. Perbedaan agama , etnik, ras, bukanlah sumber masalah. Sebab semua itu adalah takdir. Pada masa lalu, perbedaan dan pertentangan antar indeologi politik antar kelompok primodial , juga inter ideologi politik dan inter kelompok primodial bukan main dahsyatnya. Perbedaan antara kelompok Islam dan kebangsaan juga meruncing tajam. Perpecahan inter agama pun tak kalah sengit.
Pada tahun 1952, partai Masyumi yang kuat pun gembos setelah perpecahan internal antara kelompok reformis dan kelompok tradisional. Kelompok tradisional umumnya bernaung dibawah Nahdatul Ulama (NU) memilih keluar dari Masyumi. Pematiknya adalah perbedaan visi menyangkut partisipasi dalam kabinet Hatta, peran NU yang kecil dan posisi Menteri Agama yang tidak lagi menjadi jatah NU. Andai saja NU tidak keluar, Masyumi dipastikan pesta besar merebut suara dalam Pemilu tahun 1955.
Pada masa Demokrasi Parlementer sekitar dekade 1950 – an itu, gejolak politik memang luar biasa. Partai-partai yang terfragmentasi dengan setiap ideologi bisa saling menjatuhkan. Kabinet gonta-ganti begitu cepatnya. Sampai-sampai kabinet tidak efektif bekerja. Politik aliran, memang sangat kental: Radikalisme Radikal, Tradisionalisme Jawa, Islam, Sosialisme Demokratis dan Komunisme.
Jadi, perbedaan bahkan konflik keras pun itu sebetulnya sudah biasa dalam perjalanan bangsa ini. Bedanya, pada masa lalu, perbedaan pandangan ataupun konflik menjadi dinamika sebagai tahapan mencari solusi. Mereka bertentangan keras, tetapi dalam pikiran dan jiwa mereka sudah terpatri bahwa hal itu merupakan proses untuk menemukan atau meneguhkan “Rumah Besar” Indonesia. Semua sekat primordial diaduk-aduk, tetapi untuk menemukan wujud keindonesiaan.
Namun, sekarang identitas keindonesian mendapat tantangan. Diantara “Rumah Besar” Indonsia, para penghuninya memperlihatkan ego. Identitas primodial dikorek-korek . Ini bisa dilihat , misalnya dalam politik otonomi daerah. Sejak otonomi diberlakukan, yang menguat justru munculnya sentimen primodial. Putra daerah, sentimen etnik, silsilah kebangsawanan, misalnya, malah menjadi keunggulan untuk meraih elektabilitas guna memenangi pertarungan pilkada. Sadar atau tidak, praktek seperti itu menggerus “Rumah Besar” Indonesia. Sekali isu primordial dilepas, ibarat burung, akan sulit ditangkap lagi.
Tiba-tiba pikiran ini menjadi tema yang berat. Nasionalisme. Nasionalisme hari ini bukan lagi menjadi asupan jiwa sehari-hari seperti udara yang dihirup setiap helaan napas. Nasionalisme tergerus oleh globalisasi yang telah merubah perilaku penduduk bumi. Globalisasi membuat dunia tak berbatas lagi. Produk barat menjadi tren global: makanan, mode, gaya hidup, industri hiburan dan lain-lain.
Saat ini dunia semakin kosmopolitian. Kosmopolitanisme membuat dunia makin homogen. Terlebih pada era rezim media sosial sekarang ini, penduduk dunia semakin menyatu. Homogenisasi yang tumbuh mengglobal, justru membuat kita semua akan berusaha melestarikan identitas, apakah agama, kultur, kebangsaan, bahasa dan ras. Artinya , nasionalisme mengalami gempuran hebat. Identitas keindonesiaan terasa memudar.
Coba saja tanyakan pada anak-anak generasi milenium sekarang ini, siapakah idola mereka? Menemukan idola di negeri ini seperti mencari jarum di tumpukan jerami. Para elite yang semestinya memberi keteladanan justru lebih banyak mempertontonkan perilaku cakar-cakaran dan korupsi. Benak generasi muda pun lebih banyak terisi contoh-contoh buruk dan tercela. Masih adakah di antara mereka yang mengingat H.O.S Tjokroaminoto, Agus Salim, Soekarno, Hatta, Iwa Kusumasumantri, Tan Malaka, Natsir, Ratulangi dan sederet founding fathers lainnya? Untunglah masih ada sejumlah sineas memfilmkan sejumlah tokoh bangsa, seakan oase di tengah kegersangan keteladanan.
Merawat Indonesia memang bukan pekerjaan mudah. Namun merawat Indonesia adalah tugas terhormat kita semua. Kebhinekaan adalah anugerah yang dimiliki negeri ini. Jikalau sejarah bangsa ini dipahami, komitmen kebersamaan pasti dipegang erat-erat . Namun jika ada pihak yang menista agama, mencaci etnik atau memaki setiap perbedaan, itu artinya bangsa ini di tubir jurang. Pilar-pilar bangsa akan makin merapuh. Pertanyaannya: apakah kita masih peduli dengan kondisi kebangsaan kita?
*) Dokter RSUD Ulin Banjarmasin