infobanua.co.id
Beranda Opini Bijak Gunakan Antibiotika

Bijak Gunakan Antibiotika

Pribakti B

(Refleksi Pekan Kesadaran Resistansi Antimikroba Sedunia)

 

Oleh: Pribakti B

 

Sebagaimana diketahui pada manusia, antibiotika biasa digunakan untuk mengatasi infeksi yang disebabkan bakteri, seperti infeksi mata, kulit, pneumonia, dan meningitis. Antibiotika juga penting untuk perawatan infeksi yang kompleks akibat prosedur medis seperti bedah, terapi kanker, dan transplantasi organ. Antibiotika termasuk kategori obat yang disebut “antimikrobial”, contohnya penisilin, tetracycline, dan amoxicilin. Obat-obat ini digunakan untuk membunuh atau menghambat pertumbuhan bakteri tanpa menyebabkan efek berbahaya bagi tubuh.

Bahayanya, adalah jika bakteri mampu melawan obat-obat ini, mereka akan berkoloni dan mengeluarkan racun serta memperbanyak diri dalam tubuh. Secara tradisional, antibiotika dibuat dari komponen alami. Banyak organisme termasuk jamur memproduksi substansi yang dapat menghancurkan bakteri penyebab infeksi. Penisilin misalnya, terbuat dari jamur. Saat ini antibiotik seperti fluoroquinolones sudah bisa dibuat secara sintetis.Tidak heran bila sekarang tersedia ratusan jenisnya. Tak seperti dulu, ketika jenis antibiotika masih bisa dihitung dengan jari.

Masalahnya yang terjadi saat ini dunia pengobatan tengah dilanda kegalauan akibat antibiotika yang selama ini diagung-agungkan untuk menumpas segala penyakit telah berbalik menjadi ancaman serius di tingkat global. Sejak tahun 2000-an, angka kematian penderita penyakit infeksi yang disebabkan bakteri multi-resistan meningkat tajam. Baik infeksi yang terjadi di rumah sakit maupun dalam komunitas. Prevalensi kematian tertinggi akibat infeksi bakteri multi-resistan terjadi di Asia sebanyak 4,7 juta, diikuti Afrika sejumlah 4,1 juta, lalu Eropa sebesar 390 ribu, dan Amerika sebanyak 317 ribu.

WHO Regional Asia Tenggara melaporkan, tiap lima menit ada satu anak yang mati di daerah Asia Tenggara karena bakteri resistan antibiotik. Pada 2050, diprediksi 10 juta orang per tahun meninggal dan 2–3,5 persen GDP (gross domestic product) berkurang akibat penggunaan antibiotika yang tidak terkendali.Indonesia pun tidak luput dari permasalahan resistansi obat antibiotika, bahkan sudah pada tingkat cukup mengkhawatirkan. Berdasar data WHO pada 2009, Indonesia menduduki peringkat ke-8 dari 27 negara dengan beban tinggi kekebalan obat terhadap kuman (multidrug resistanci/ MDR).

Harus diakui angka prevalensi kasus resistansi antibiotika saat ini belum akurat. Berkaca dari Thailand, dengan populasi 70 juta dan 38 ribu orang di antaranya meninggal akibat resistansi, Komite Pengendalian Resistansi Antimikroba (KPRA) mengasumsikan kematian akibat penyakit resistansi (kebal) antibiotika di Indonesia kurang lebih 130 ribu per tahun. Berdasar penelitian pada 2013 di enam rumah sakit di Indonesia, angka kasus infeksi akibat bakteri kebal pada antibiotik mencapai 50 persen.

Sebetulnya antibiotika adalah salah satu lompatan keberhasilan pengobatan yang mencengangkan. Pasca penemuan penisilin sebagai antibiotik pertama oleh Alexander Fleming, bisa dibilang kita berada dalam era antibiotika. Obat ini telah digunakan untuk melawan infeksi berbagai bakteri pada tumbuhan, hewan, dan manusia sejak 1930-an. Baik sebagai bakterisida (membunuh bakteri) maupun bakteriostatika (menghambat pertumbuhan bakteri). Secara dramatis, tingkat kesehatan dan usia harapan hidup manusia melonjak dengan tajam.

Namun, era ini diramal bakal berakhir setelah kasus-kasus kebal antibiotika bermunculan di berbagai belahan dunia. Obat yang dulu efektif menangani penyakit seperti tuberkulosis, malaria, dan gonorrhea kini mulai kehilangan dampaknya.Penyebab munculnya resistansi ini adalah mutasi bakteri yang terjadi karena penyalahgunaan dan penggunaan antibiotika berlebihan. Pengembangan antibiotika baru tidak bisa mengimbangi kecepatan bakteri berevolusi. Kekebalan antibiotik baru terbentuk dua tahun setelah antibiotik pertama digunakan, padahal butuh 10–15 tahun untuk menemukan zat antibiotik baru. Antibiotika yang sejatinya hanya untuk melawan infeksi bakteri, ironisnya, disalahgunakan untuk melawan infeksi virus. Misalnya, flu, pilek, sakit tenggorokan, gondok, dan bronkitis.

Penggunaan antibiotika berlebihan, seperti terlalu lama mengonsumsi atau malah tidak menghabiskan obat sesuai resep, juga penggunaan secara masal di peternakan dan tanaman pertanian, memberikan kontribusi tinggi pada resistansi.Dampak resistansi adalah meningkatnya angka kesakitan, melonjaknya biaya dan lama perawatan, serta meningkatnya efek samping karena penggunaan obat ganda dan dosis tinggi. Serta, yang paling fatal adalah meningkatkan angka kematian.

 

Sulit dibayangkan jika era pasca antibiotika tiba, hanya luka sayatan kecil saja bisa membahayakan nyawa atau tindakan operasi sukses tapi nyawa tak tertolong lagi akibat tubuh sudah kebal terhadap antibakteri. Bahaya antibiotika telah menjadi momok dunia. Penanggulangan  resistansi antibiotika tidak mudah karena bukan hanya melibatkan pihak pasien atau dokter saja, tetapi merupakan interaksi kompleks dari berbagai faktor mulai dari dokter, pasien, industri farmasi, kepentingan bisnis, kesadaran masyarakat, hingga dunia pendidikan secara luas.

 

Pendek kata, penanganan resistensi antibiotika makin sulit karena antibiotika bukan saja dimanfaatkan untuk mengobati penyakit-penyakit infeksi pada manusia, tetapi juga bidang lain, seperti pertanian dan peternakan. Luasnya cakupan pemakaian antibiotika dalam produk-produk pertanian dan peternakan memerlukan perhatian khusus dan ketaatan ketat terhadap peraturan yang ada. Kesadaran akan bahaya residu antibiotika dari produk peternakan perlu ditingkatkan agar seiring upaya penanganan resistensi antibiotika.

 

Kenyataan bahwa penyebab dan dampak persoalan resistensi antibiotika melampaui bidang kesehatan masyarakat memerlukan partisipasi dari semua sektor pemerintah dan masyarakat untuk bekerja sama menanggulangi tantangan ini. Bagaimanapun juga, kita tidak ingin capaian pembangunan nasional yang telah dicapai dengan susah payah hilang gara-gara kerugian akibat penanganan resistansi antibiotika yang salah. Lebih jauh, jangan sampai kapasitas untuk mencapai tujuan pembangunan global, seperti Sustainable Development Goals (SDGs), direduksi oleh dampak resistansi antibiotika.

Permasalahan ini bukan hanya milik pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan, namun dokter, apoteker dan organisasi profesi hingga masyarakat harus terlibat. Pemerintah sebetulnya sudah mengaturnya melalui Permenkes Nomor 2406/MENKES/PER/XII/2011 tentang Pedoman Umum Penggunaan Antibiotika. Ini sejalan dengan Deklarasi Jaipur tentang kekebalan antimikroba 2011. Untuk kali pertama, WHO mencanangkan Pekan Peduli Antibiotika Sedunia pada 16–22 November 2015. Melalui kampanye Antibiotics: Handle with Care, WHO mengajak masyarakat memanfaatkan antibiotika dengan tepat. Hasil Riset Kesehatan Dasar 2013, lebih dari 60 persen masyarakat Indonesia melakukan upaya pengobatan diri sendiri dan lebih dari 80 persen di antaranya mengandalkan obat modern. Pemberian informasi yang jelas, tepat dan benar, serta dapat dipercaya mutlak diperlukan. Antibiotika dengan bahaya kekebalannya adalah sebuah ancaman serius bagi kita semua.

Keaktifan pemerintah dituntut dalam melaksanakan pembinaan pengawasan. Juga, bertanggung jawab atas ketersediaan, keterjangkauan, dan pemerataan obat. Secara sosial-ekonomi, obat adalah komponen tak tergantikan dalam pelayanan kesehatan. Kesadaran masyarakat adalah kunci utama dalam penanggulangan bahaya antibiotika. Edukasi dari semua elemen, baik pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, maupun organisasi profesi, akan memberikan kontribusi yang tinggi untuk mencegah resistansi. Satu hal yang patut digarisbawahi adalah mengawal semua program dengan komitmen dan konsistensi tinggi. Itu dilakukan agar pelan tapi pasti permasalahan pelik resistansi antibiotika bisa teratasi. Semoga.

Dokter RSUD Ulin Banjarmasin

Bagikan:

Iklan