infobanua.co.id
Beranda BANJARMASIN  Ini Politik, Bukan Film India

 Ini Politik, Bukan Film India

oleh: Pribakti B *)

 Belakangan ini di mana-mana , di kalangan aparat penegak Pemilu , orang berkata bahwa setiap warga negara harus memilih, memberikan suara dan turut menentukan kebijakan publik. Turut memilih dianggap sebagai sikap yang paling bertanggung jawab. Bertanggung jawab kepada siapa ? Bagaimana kalau turut memilihnya berarti turut memperkuat kecenderungan menyimpang yang sudah melekat di dalam jiwa para tokoh yang dipilih? Tidakkah yang begini ini kemudian berarti bahwa turut memilih dengan segenap tanggung jawab justru hanya berarti memperkuat keburukan demi keburukan di dalam masyarakat?

 

Banyak pemilih yang tak tahu sama sekali siapa yang sebaiknya harus dipilih. Sebaliknya, banyak pula pemilih yang telah memilih, tetapi tak tahu-menahu latar belakang tokoh yang dipilihnya. Memilih calon emimpin kelihatannya tak semudah memilih calon mertua. Ahli politik tidak memiliki catatan mengenai situasi politik yang tak terduga seperti sekarang ini. Kemunculan para calon anggota legislatif dan kemudian masuk ke parlemen, apa gunanya orang-orang macam itu?

 

Kompetensi nol. Pengalaman nol. Wawasan nol. Buat apa kita pilih calon-calon seperti ini? Mengapa kita tak harus apatis secara kritis melihat perkembangan keadaan yang makin hari makin buruk? Kita mencari dan berharap tampilnya tokoh-tokoh yang menawarkan solusi bagi kehidupan bangsa. Kita menanti para pemimpin yang bakal mampu memimpin bangsa yang tidak serakah, tidak mata duitan , dan tidak menyimpang dari kebijakan. Kita ingin pemimpin yang memimpin dengan baik. Bukan orang biasa yang sebentar-sebentar menangis, menyanyi dan menangis lagi.

 

Politik kita bukan film India. Di film India menangis, menyanyi dan menangis lagi dianggap lazim. Namun dalam politik kita, itu barang buruk yang harus kita jauhi. Psikologi politik kita menggambarkan jiwa yang terluka. Kita kecewa. Kita marah. Kita muak. Kemudian kita menyusun kesadaran politik menjadi pengetahuan politik yang baik; kelembutan yang korup bukan lagi kelembutan. Ia merupakan kekerasan. Kesopanan yang korup bukan kesopanan lagi. Ia merupakan watak munafik dan serakah yang tak bisa kita biarkan. Kita kecewa , bahkan sangat kecewa.

 

Kita marah, mungkin hingga ke puncak kemarahan yang tak kita ketahui seberapa tingginya. Kebijakan demi kebijakan yang hanya melahirkan kata-kata bukan sabda agung yang bakal diikuti tindakan nyata. Tiba-tiba masa untuk memilih sudah ada di depan mata. Lalu , kita tak berselera memilih agar tak tertipu untuk kesekian kalinya. Apa yang mau dipilih dalam kondisi ketiadaan pilihan macam ini? Kita tak peduli tokoh-tokoh pilihan yang kita beri kepercayaan mengendalikan jalannya pemerintahan itu lembut sekali seperti Arjuna atau kurang lembut dan wataknya lebih mirip saudagar-saudagar serakah.

 

Lembut dan tidak lembut dalam hal ini tidak menjadi faktor penting. Meskipun begitu, kalau sikapnya jelas brangasan, seruduk-seruduk dan menabrak sana-sini, itu jelas buruk. Ukuran moral seperti ini agak konyol. Kita membutuhkan pemimpin yang bisa mengisi kehausan masyarakat terhadap kepemimpinan yang layak menjadi panutan yang patut kita dengar suaranya, kita ikuti langkahnya, dan kita percayai bahwa dengan kepemimpinannya persoalan mendasar yang dihadapi akan kita selesaikan bersama.

 

Kita tidak ingin ruwet seperti ini. Kita merindukan pemimpin yang sejak di dalam pikirannya sudah bersih, tidak menyimpang, tidak serong dan tidak menipu. Kebijakan publik tidak boleh dibangun diatas landasan kebohongan semata demi kepentingan politik-ekonomi pribadinya sendiri. Kepentingan bisnisnya sendiri. Kebijakan publik, terbuka untuk dikoreksi secara publik dan diabadikan demi kepentingan publik didalam situasi politik yang begitu rusuh. Mana makna keterbukaan?

 

Mana kebijakan antikorupsi yang didengung-dengungkan seperti suara lebah yang bising? Isi kebijakan itu malah sebaliknya: korup, korup dan korup dimana-,mana. Mengapa pemimpin tidak malu? Mengapa kehancuran seperti ini tak membuat para tokoh terpukul? Mengapa kebohongan masih dipertahankan? Bohong secara lembut dan halus, tetaplah kebohongan.

 

Kebusukan, biarpun lembut , tetap berbau-namanya bau kebusukan yang lembut. Korup, menyimpang, selingkuh atau serong dari konstitusi dan aspirasi rakyat , biarpun sopan, tetap korup. Korup yang sopan dikutuk rakyat biasa, dikutuk kaum rohaniawan, dan disumpah serapahi di mana-mana. Karena korup biarpun dilakukan secara sopan tetap tidak sopan. Menurut Anda, bagaimana?

 

*) Dokter RSUD Ulin Banjarmasin

 

 

 

Bagikan:

Iklan