Harga Cabe Rawit Meroket, Tapi Petani Blitar Tidak Dapat Menikmatinya
Blitar, Infobanua.co.id – Meski harga Lombok atau Cabe Rawit di pasar tradisional harganya melambung naik sampai hari ini mencapai Rp.120 ribu per Kg.
Tapi para petani Cabe Rawit di Kota Blitar tidak dapat menikmati keuntungan, pasalnya para petani mengalami gagal panen, karena Cabe Rawit yang mereka tanam diserang hama arau penyakit.
Salah satu petani Cabe Rawit di Kelurahan Tanjungsari, Kecamatan Sukorejo, Kota Blitar, Pak Min, menceriterakan jika cabe rawit yang dia tanam, akibat cuaca yang terkadang hujan terkadang panas, akhirnya diserang penyakit yang biasa para petani kenal dengan hama porong.
“Cuaca yang terkadang hujan, kemudian panas lagi begitu terus menerus, sehingga tanaman cabe rawit mudah busuk diserang penyakit porong,” kata pak Min kepada awak media, Minggu 28-02-2021.
Menurut pak Min, keadaan seperti itu yang mengakibatkan para petani mengalami gagal panen. Sehingga juga membuat penurunan pendapatan para petani sampai 70 porsen hingga 80 porsen dari keadaan biasa.
“Penyakit porong menyebarnya sangat cepat, meski awalnya tidak begitu banyak mengenai beberapa tanaman cabe, tapi dalam waktu singkat bisa menular ke tanaman cabe yang ada di samping kanan dan kirinya,” jlentrehnya.
Lebih dalam pak Min menerangkan, jika hal ini yang menyebabkan harga cabe di pasar menjadi mahal. Karena jumlah panen menurun, membuat ketersediaan terbatas, sehingga harga dari petani juga mengikuti keadaan.
“Saat ini harga cabe rawit dari petani Rp.90.ribu per Kg. sehingga wajar jika harga di pasar juga mengalami kenaikan,” ungkapnya.
Selanjutnya pak Min menjelaskan bahwa, dengan adanya keadaan yang seperti ini, banyak dari petani sepertinya tidak bisa berbuat banyak, ketika penyakit porong mulai melanda tanaman cabe rawit.
Sebab biaya pengobatan atau perawatan yang relatif mahal dan tidak semua petani dapat menjangkau harganya.
“Sedang jalan keluar yang kami pakai, yakni memilih untuk mengurangi menanam cabe rawit. Dengan begitu resiko merugi bisa berkurang, jika dibanding dengan petani yang menanam cabe dengan jumlah yang tetap atau tidak dikurangi,” pungkasnya. (Eko.B)