infobanua.co.id
Beranda BANJARMASIN Kasus Rafael, Apa Kabar

Kasus Rafael, Apa Kabar

oleh: Pribakti B, Dokter RSUD Ulin Banjarmasin

 Masih ingat kasus Rafael ? Bulan Februari yang lalu mayoritas publik dihebohkan dengan berita mengenai harta kekayaan pejabat Kementerian Keuangan Rafael Alun Trisambodo. Bukan saja jumlah harta kekayaan yang dilaporkannya melalui Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) sangat fantastis.

Temuan adanya temuan uang dalam safe box deposit nya yang mencapai puluhan miliar rupiah juga sangat mencengangkan. Ketidakwajaran harta kekayaan itu karena tak sesuai dengan profilnya sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN).

 

Opini publik sudah terbentuk bahwa yang bersangkutan dianggap melakukan pencucian uang. Meski demikian, kita belum mengetahui tindak pidana apa yang ia lakukan selain hanya patut menduga sementara bahwa perolehan harta kekayaan itu terkait dengan tindak pidana korupsi karena yang bersangkutan adalah pejabat negara di Kemenkeu. Selain itu, juga patut diduga harta kekayaan yang tidak wajar itu berasal dari tindak pidana karena mustahil ia memperoleh kekayaan sebesar itu jika hanya bersumber dari gaji dan pendapatan yang sah.

 

Kita tahu berapa jumlah penghasilan resmi yang diterima oleh para pejabat tersebut. Termasuk apabila sudah ditambah dengan berbagai tunjangan yang jumlahnya cukup fantastis. Belum lagi yang merangkap jabatan sebagai komisaris di BUMN. Mereka juga biasanya mendapat fasilitas peruaan dan kendaraan, yang biaya perawatannya ditanggung oleh negara dengan uang rakyat. Artinya, para pejabat tersebut sebenarnya sudah bisa hidup layak tanpa harus melakukan korupsi.

 

Memang banyak studi yang membenarkan bahwa remunerasi yang tinggi dapat mengurangi korupsi dan penyalahgunaan kewenangan. Namun langkah tersebut harus disertai dengan pengawasan yang keyat dan ini yang tidak terjadi dalam birokrasi pemerintahan. Inspektorat jenderal di setiap kementerian gagal dan seperti tidak menjalankan fungsinya dalam melakukan pengawasan atau barangkali berlagak tidak tahu. Hampir tidak pernah terdengar ada korupsi yang dibongkar oleh inspektorat jenderal. Sementara itu mekanisme peengawasan dan penindakan secara eksternal juga tidak berjalan dengan baik.

 

Sayangnya , Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) setelah “dilemahkan” melalui revisi Undang-Undang KPK, menjadi seperti tidak mempunyai kekuatan. Padahal KPK dibentuk melalui Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi karena Indonesia sudah darurat korupsi. Pertimbangan lain adalah kepolisian dan kejaksaan dianggap tidak mampu memberantas korupsi. Selain itu, korupsi dimasukkan ke kategori tindak kejahatan luar biasa terhadap kemanusiaan. Karena itu, perlu lembaga hukum yang mempunyai kekuatan serta kewenangan luar biasa seperti KPK.

 

Saya jadi ingat pernyataan almarhum Sumitro Djojohadikusumo bahwa pada era Orde Baru kebocoran anggaran yang dikorupsi mencapai 30 persen. Sementara itu, menurut ekonom Faisal Basri, kebocoran anggaran pada era reformasi angkanya jauh lebih besar. Karena itu sudah sangat mendesak waktunya Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk segera memfinalisasi Undang-Undang Permbuktian Terbalik Harta Kekayaan dan Undang-Undang (UU) Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana. Jangan terus menunda tanpa alasan yang bisa diterima.

 

Belajar dari kasus Rafael ini ,  perilaku korupsi berawal dari gaya hidup mewah para pejabat negara kita dan keluarganya. Hampir semua kelompok pejabat di negeri ini, tergoda korupsi. Lalu bagaimana orang yang semula baik-baik dan anti korupsi , bisa terjebak korupsi? Sebabnya , karena kita benar-benar hidup dalam sebuah sistem yang kondusif untuk korupsi. Sistem inilah yang juga harus dibenahi, sehingga orang tidak merasa perlu korupsi.

 

Menjadi pertanyaan, dapatkah harta kekayaan Rafael disita dan dirampas, sementara pelakunya belum dinyatakan bersalah atas suatu tindak pidana? Jawabannya, tidak dapat dirampas. Perlu pembuktian mengenai perolehan harta kekayaan di maksud oleh jaksa, termasuk melalui mekanisme pembuktian terbalik. Dalam hal ini, putusan pengadilan atas diri pelaku menjadi syarat bagi pembekuan dan perampasan harta kekayaan yang tidak wajar.

Bukan sebaliknya, merampas hartanya , tetapi membiarkan pelaku tidak tersentuh hukum. Maka, agar UU Perampasan Aset mendorong pemberantasan korupsi sekaligus tak menjadi alat kekuasaan, ia perlu prasyarat peradilan yang bersih dan independen, penegak hukum yang profesional , penegakan korupsi yang tak pandang bulu. Tanpa diketahui prasyarat ini , UU Perampasan Aset itu hanya menjadi legitimasi kesewenang-wenangan penguasa. Semoga selamat negeri ini!

*)

 

Bagikan:

Iklan