infobanua.co.id
Beranda Opini Kekuasaan dan Kekayaan

Kekuasaan dan Kekayaan

Pribakti B

Oleh : Pribakti B

 

Dalam masyarakat  Jawa  dikenal pepatah  “Ojo dumeh “ atau “Jangan mentang-mentang”. Jangan mentang-mentang berkuasa, jangan mentang-mentang kaya. Ingatlah bahwa kemanusiaan itu satu dan  sama, hanya kebetulan kamu sedang berkuasa dan kaya. Dirimu adalah dirimu yang seperti itu, meskipun kamu punya kekuasaan dan punya kekayaan. Kekuasaan dan kekayaanmu sama sekali tak menolong meningkatkan harkat kemanusiaanmu. Harkat kemanusiaan hanya dapat ditingkatkan melalui moral.

Apa gunanya milyader tanpa moral? Kekuasaan dan kekayaan tanpa dasar moral akan mudah menimbulkan iri dan dengki bagi banyak orang lain yang juga lemah moralnya. Kekuasaan dan kekayaan yang bermoral akan mengangkat pemiliknya menjadi manusia yang berharkat, bermartabat. Apalagi kalau kekuasaan  dijalankan dengan arif dan adil, kekayaan digunakan dengan bijaksana. Kekuasaan dan kekayaan akan dimanfaatkan untuk kebaikan banyak orang , meskipun ia tetap berkuasa dan tetap kaya. Alangkah beratnya tugas dan kewajiban yang  berkuasa dan kaya. Orang yang berkuasa harusnya ditaati tanpa menguasai,  orang yang kaya harusnya tidak terikat oleh kekayaan. Dengan demikian kekuasaan dan kekayaan tidak menimbulkan kesengsaraan bagi banyak orang lain.

Kekuasaan dan kekayaan itu bukan hanya sumber kenikmatan, tetapi juga membawa tanggung jawab. Makin tinggi kekuasaan dan makin besar kekayaan , makin besar pula tuntutan tanggung jawabnya. Kekuasaan dan kekayaan membawa nilai sosial, menyangkut hidup orang banyak. Berkuasa berarti menguasai orang banyak, kaya berarti memiliki lebih banyak daripada orang lain. Kalau kekuasaan hanya dipakai untuk kenikmatan diri, artinya kepentingan orang banyak dikorbankan . Begitu pula kalau kekayaan hanya dipakai untuk kenikmatan sendiri, maka orang lain harus puas dengan apa yang menjadi bagiannya.

Pada dasarnya semua manusia diciptakan sama. Kalau saja semua manusia berhasil mengembangkan pengertian akan hak dan kewajibannya masing-masing, maka tidak diperlukan penumpukan kekayaan dan kekuasaan.Tetapi itu hanya sebuah impian, sebuah utopia. Karena meskipun hak dan kewajiban manusia sama, tidak setiap manusia mau mengembangkan potensinya secara sama pula. Ada yang malas, ada yang tekun, ada yang egois, ada yang sosial. Akhirnya , ada yang berkuasa dan ada yang kaya.

Masyarakat yang ideal adalah masyarakat tanpa penumpukan kekuasaan dan kekayaan. Munculnya kekuasaaan dan kekayaan adalah karya budaya manusia. Pada mulanya mereka berburu bersama atau menggarap tanah bersama. Memang ada yang memimpin, tetapi atas persetujuan sukarela tanpa melenyapkan hak pribadi. Hasil pertanian dan perburuan mereka juga dibagi sama. Kalau setiap manusia bersikap dewasa dan memahami hak dan kewajibannya , tidak akan muncul si penguasa dan si kaya, meskipun muncul siapa yang harus menjadi pemimpin.

Sejarah munculnya kekuasaan dan kekayaan umat manusia tentulah faktor kesalahan manusia. Makin besar penumpukan kekuasaan dan kekayaaan kepada segelintir manusia, makin besar juga faktor kesalahan manusia. Faktor kesalahan itu boleh jadi akibat keserakahan segelintir manusia, akibat penumpukan egoisme sejumlah manusia, akibat memanfaatkan kebodohan manusia lain, akibat memanfaatkan kesempatan bagi kepentingan egonya sendiri dan lain-lain, yang pada dasarnya bersumber pada moral atau rasa susila manusia.

Jadi, moral adalah pegangan kesejahteraan umat manusia. Kalau setiap anggota masyarakat tinggi rasa moralnya, maka jurang golongan penguasa dan yang dikuasai, jurang antara yang kaya raya dan miskin sengsara, akan terjembatani. Kalau dalam suatu masyarakat terdapat segelintir orang yang amat menikmati kekuasaan dan kekayaan maka kehidupan moral dalam masyarakat itu dipertanyakan. Pertanyaannya : sudah terjadikah pemanfaatan kebodohan , pemanfaatan ketidaktahuan, pemanfaatan kesempatan, pemanfaatan yang ditimbulkan oleh keadaan?

Adalah tidak bermoral apabila yang lebih kuat memperdaya yang tak punya kekuasaan , yang kaya memeras yang miskin. Sesungguhnya manusia yang bermoral itu menang tanpa mengalahkan , dipatuhi tanpa berkuasa, kaya tanpa memiliki. Manusia yang bermoral tidak takut dikalahkan , tidak takut melepaskan jabatan, tidak takut jatuh miskin. Sebab , sejak semula memang ia tidak mengalahkan meskipun menang, tidak menguasai meskipun dipatuhi dan merasa miskin meskipun kaya.

Sebaliknya yang terjadi pada manusia yang tipis moralnya. Bagi mereka, kekayaan dan kekuasaan adalah tujuan hidup dan lambang gengsi kemanusiaannya. Mereka ini akan ringan meninggalkan moral demi tambahan kekuasaan dan tambahan kekayaan. Sadar atau tidak, bangsa ini sedang berubah. Nilai-nilai juga berubah. Namun, kalau tidak hati-hati, nilai moral akan dikesampingkan, nilai kemanusiaan merosot sampai di bawah nilai ekonomi dan politik. Sebab sedikit belum tentu kurang. Banyak belum tentu cukup. Ingat kawan, miskin tidak  hina, kaya tidak mulia. Syukuri apa yang ada. Nikmati yang kita punya. Nah itu saja cukup. Menurut Anda, bagaimana?

Dokter RSUD Ulin Banjarmasin

Bagikan:

Iklan