Hilangnya Kearifan Politik
Oleh: Pribakti B
Pada mulanya, kita menjunjung tinggi prinsip berdemokrasi yang bukan asal-asalan, melainkan demokrasi yang dipimpin oleh “ hikmat kebijaksanaan”. Dengan kata lain, kehidupan demokrasi berkembang secara leluasa dan sehat, seperti rerumputan yang hijau segar di suatu padang rumput maha luas karena dipimpin oleh watak, sifat, sekaligus sikap “bijaksana” yang penuh “hikmat”. Watak, sifat dan sekaligus sikap “bijaksana “ yang penuh “hikmat “ itu berbeda secara mencolok dari demokrasi asal-asalan, seperti yang kita laksanakan sekarang ini.
Sekarang kita tak punya watak “bijaksana” dan sikap penuh ”hikmat” macam itu karena kehidupan kita dipimpin oleh kepentingan-kepentingan jangka pendek, yang mengabaikan kepentingan “rakyat” dalam arti sebenarnya. Rakyat sudah dibunuh di meja judi politik yang kejam. Politik kita penuh keserakahan tak terbatas. Akibatnya rakyat yang tertindas terus-menerus. Tiap saat kita lihat keserakahan berhadapan dengan keserakahan yang lain, dan kehidupan politik kita menjadi sejenis papan catur sempit yang dikuasai para pembesar yang siap untuk saling membunuh.
Disana suara dan aspirasi rakyat tak terdengar dan tak boleh terdengar. Kelihatannya jelas bagi kita bahwa “demokrasi “ hanya sebuah filsafat dan aspirasi demi aspirasi yang hanya berisi kata-kata. Aspirasi rakyat menjadi tidak relevan. Para penguasa tak pernah peduli apa itu aspirasi rakyat. Hak-hak rakyat telah dirampok oleh para wakil rakyat yang diberi hak untuk berkuasa. Rakyat – sekali lagi- anak yatim piatu yang telah dibunuh. Tak pernah ada yang menaruh peduli pada mereka. Apalagi dengan sungguh memberi mereka pelindungan hukum dan politik agar mereka hidup dengan layak sebagai warga negara. Anehnya, tidak ada satu pihakpun di dalam masyarakat yang menganggap hilangnya kepedulian itu sebagai ironi kehidupan politik. Ini dianggap perkara biasa dan sudah semestinya.
Tiap pihak mengaku pembela demokrasi dan kepentingan rakyat. Ketika diam-diam sedang bersekongkol untuk melakukan tindak pidana korupsi, itu pun dengan wajah tanpa dosa masih berbicara demokrasi dan hak-hak rakyat. Inikah jenis demokrasi tulen? Diatas panggung, secara resmi, mereka bicara sebagai politisi yang mengutamakan kepentingan bangsa dan negara. Tiap saat ukuran-ukuran tingkah lakunya berkiblat pada kepentingan bangsa. Sebentar-sebentar kepentingan bangsa. Dikiranya kebohongannya tak diketahui publik. Padahal kebohongan dalam waktu pendek sudah terbuka. Boleh saja pura-pura saleh, pura-pura lembut dan sopan, dan gaya bicaranya dibuat – mungkin dibuat-buat – seolah dirinya suci dari banyak dosa politik.
Pendeknya , kejujuran kini memang teramat mudah dipidatokan, namun tampaknya tak begitu mudah dijalankan. Karena begitu sulitnya mengungkap kejujuran , maka pada saat ada seseorang pemimpin yang tiba-tiba berbicara jujur , terasa aneh terdengar. Inilah barangkali salah satu anomali modernitas. Tata nilai dan moralitas publik menjadi jungkir balik. Yang benar disalahkan, yang salah dibenarkan. Kejujuran dianggap tindakan yang naif, bodoh dan aneh. Tapi, sepandai-pandainya orang membungkus, barang busuk tetap berbau dan ketahuan oleh publik.
Satu hal yang sudah tidak mengejutkan lagi adalah kita kehilangan kearifan politik yang memberi rasa damai bagi semua pihak. Dulu setiap keputusan yang diambil dalam setiap musyawarah selalu dipimpin oleh “hikmat kebijaksanaan”. Kini hikmat itu sudah mati , kebijaksanaan pun sudah mati.Tapi penggantinya yang lebih anggun, lebih mendalam dan adil belum tersedia. Keputusan penting dan sensitif malahan diambil berdasarkan kekuasaan orang-orang serakah. Kepentingan demi kepentingan pribadi yang tampil. Dibalik tiap kepentingan itu muncul para tiran berwajah dingin dan kejam. Kerakyatan mati merana seperti tanaman dalam pot yang sengaja tak dipelihara.
Padahal , dengan Trias Politika jelas ada pembatasan kekuasaan. Sebab ketika kekuasaan berada di satu tangan, makhluk politik bisa menjadi buas , keras, tiranik dan lalim. Pembagian kekuasaan dengan kewenangan masing-masing (eksekutif, legislatif dan yudikatif) membuat kekuasaan dapat dikontrol dan tidak terjadi kesewenang-wenangan. Maka kalau ada yang bilang suara rakyat suara Tuhan, itu cuma aspirasi. Kenyataan politik berkata lain: suara rakyat ya suara rakyat. Suara kaum tertindas, yang tak punya pelindung dan tak punya pengayom.
Dokter RSUD ULin Banjarmasin