infobanua.co.id
Beranda Opini Apa Enaknya Jadi Pejabat

Apa Enaknya Jadi Pejabat

Pribakti B

Oleh: Pribakti B

 

Dalam budaya kita menjadi pejabat adalah pertanda kesuksesan. Ada anggapan percuma sekolah tinggi-tinggi kalau akhirnya hanya sekadar menjadi guru atau dosen. Sebaliknya, meskipun pendidikannya tidak begitu tinggi tapi berhasil menjadi pejabat, nah itu baru sukses. Mengapa jabatan menjadi idaman? Apa enaknya jadi pejabat? Mungkin karena pejabat di negeri ini adalah penguasa, dan kekuasaan adalah pintu menuju kemakmuran. Sudah maklum bahwa gaya hidup kebanyakan pejabat dan keluarganya cenderung mewah.

 

Anda dapat lihat dari jenis kendaraan, pakaian dan konsumsi mereka setiap hari. Mereka juga menikmati aneka fasilitas negara seperti rumah, mobil dan biaya perjalanan dinas. Barangkali di masyarakat sebenarnya ada rasa tak senang dengan gaya mewah para pejabat. Tapi diam-diam banyak pula orang yang mengimpikannya. Orang sepertinya sudah tak peduli apakah kemewahan itu didapatkan secara halal atau haram. Tidak heran, setiap ada perlombaan atau lelang menjadi pejabat selalu diikuti banyak peminat.

 

Alasan lain mungkin karena seorang pejabat biasanya dihormati sampai terbungkuk-bungkuk. Kalau dia datang, para hadirin diminta untuk berdiri. Kalau mobilnya lewat, semua kendaraan harus minggir. Pejabat juga datang paling akhir sebelum acara resmi dimulai  dan pulang lebih awal setelah acara usai. Setiap sambutan dalam acara seremonial orang tak boleh lupa menyebut nama sang pejabat dengan takzim. Selain itu, menjadi pejabat dengan sendirinya akan menjadi populer. Media cetak dan elektronik berlomba-lomba memuat gambar dan berita tentang mereka. Apa yang mereka ucapkan dan lakukan akan dicatat, direkam dan dilaporkan oleh wartawan.

 

Dalam konteks ini, pejabat adalah figur selebriti yang tak jauh beda dengan artis.Ini karena pejabat memperoleh fasilitas atau previlege yang luar biasa: tunjangan gaji yang besar, rumah dan mobil dinas, jasa pengawalan , pelesir keluar negeri dan penghormatan yang kadang berlebihan pula. Pejabat di Indonesia, masih dianggap sebagai orang yang terpandang , layaknya ambtenaar di masa lalu – walaupun banyak yang berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi. Mental ”gebyar” masih subur di kita: orang dipandang dari bajunya, pecinya, bukan subtansi dan kejujurannya.

 

Menjadi pejabat di tengah kondisi sistem birokrasi negeri yang masih mengidap penyakit Parkinsonian, akan ”mendadak super” karena bisa menembus rintangan-rintangan yang menyebalkan. Pejabat birokrasi, selalu berupaya mengistimewakan pejabat politik. Para birokrat juga masih akan menerima banyak hadiah atau gratifikasi dari yang sepele hingga yang mewah. Kadang seorang pejabat tiba-tiba merasa punya hak untuk berlagak.

 

Selain bergelimang previlege, pejabat juga berkesempatan besar untuk menentukan kebijakan. Ia menjadi elite penentu, bukan lagi rakyat biasa yang ditentukan. Menjadi pejabat, diartikan sedang naik kelas menjadi subyek, karena kekuasaannya. Orang boleh pandai dan kemudian menjadi cendekiawan atau intelektual, tetapi bukankah masih kalah dengan orang yang berkuasa? Kalau intelektual tidak menjabat, apa dihargai? Tetapi sayangnya, orang berkuasa, kerap dikendalikan oleh yang punya uang. Maka, pragmatisme selalu membayangi para pejabat-penguasa , lalu lupa akan niat awalnya mengabdi pada bangsa. Tetapi apakah orang kuasa selalu kalah dengan uang?

 

Di negeri ini  berpolitik jelas terkait erat dengan kekuasaan. Dalam demokrasi langsung, pejabat politik harus memperoleh legitimasi publik melalui pemilu. Pemilu adalah anak tangga menuju atau alat pengesah kekuasaan. Bagi para calon pejabat politik ”memenangkan pemilu” sangat penting. Caranya mengikuti prosedur yang ada, berkampanye dan memantau perkembangan: apakah terpilih atau tidak.

 

Permasalahannya jadi pelik kalau dikaitkan dengan modal alias kapital. Tidak ada yang gratis dalam hal merebut dan mempertahankan kekuasaan. Yang bermodal atau beruang besar, di alam gebyar dan artifisial ini, bakal berpeluang lebih tinggi ketimbang yang cekak. Tapi, uang saja tidak cukup. Para politisi akan memanfaatkan simbol-simbol, sentimen-sentimen dan mitos-mitos. Persoalan etika alias kepatutan lantas mengemuka. Kadang-kadang upaya-upaya untuk memenangkan diri dilakukan di luar kepatutan, sehingga menodai kesucian politik.

 

Tentu niat yang betul ketika seseorang hijrah menjadi politisi, bukan untuk menjadi pejabat, melainkan menjadi transformator , yang dengan kekuasaan dan jabatan yang dimilikinya kelak dimanfaatkan sepenuhnya untuk merubah keadaan menjadi lebih baik. Yang mau disejahterakan bukan diri dan kelompoknya, tapi masyarakat luas dan kepentingan bangsa. Pejabat bukan lagi ordinary people , maka tanggungjawabnya besar, kalau benar jasanya besar, tapi kemungkinan ”berbuat dosa” juga besar.

 

Yang pasti jika seseorang menjadi pejabat hanya karena tujuan kekayaan, kehormatan dan popularitas diatas, maka dia sudah mengabaikan sisi yang amat penting dari jabatan, yakni tanggung jawab kepada rakyat dan Tuhan. Pejabat seperti ini bukanlah pemimpin sejati. Ia lebih tepat disebut parasit yang hidup dengan menghisap rakyat. Karena itu, tidak semua pejabat adalah pmimpin dan tidak pula sebaliknya. Ada yang berhasil menduduki jabatan bukan karena pengabdiannya pada masyarakat, melainkan karena kelihaian intrik politik belaka. Sebaliknya , ada orang yang tidak punya jabatan formal apa-apa, tetapi dia sungguh-sungguh mengabdi pada kepentingan masyarakat. Alhasil, yang kita perlukan adalah seorang pemimpin, baik ia pejabat ataukah bukan.

Bagikan:

Iklan