Diakui atau tidak di zaman edan kekuasaan seperti sekarang ini, banyak politikus yang menjadikan kekuasaan sebagai alat untuk meraih kekayaan dan kehormatan belaka. Yang sudah kaya dan terhormat, ingin jauh lebih kaya dan terhormat lagi. Akibatnya kini kekuasaan dan kekayaan itu ibarat telur dan ayam. Kekayaan bisa membeli kekuasaan, dan kekuasaan bisa mendatangkan kekayaan. Sedangkan kehormatan mengiringi keduanya.
Sudah maklum, jatah kursi kekuasaan itu terbatas sehingga para peminat akan berebut. Yang kuat akan menang dan yang lemah akan kalah. Inilah logika kekuasaan. Untuk meraih kemenangan, orang harus berusaha mengerahkan segala kekuatan dengan caara apa pun. Berbagai peraturan dan undang-undang yang membatasi, tetap dicari celahnya agar bisa diterobos. Pokoknya yang penting menang! Prinsip yang “ penting menang” itu tentu tidak diungkapkan secara terbuka.
Kekuasaan itu adalah seni. Seorang pengejar kekuasaan harus pandai berpuisi, menyusun kata, mengubah nada, dan mengatur gaya agar publik terpesona. Ibarat buaya darat, sang pengejar kekuasaan adalah perayu super dengan sederet janji-janji dusta. “Kalian akan sejahtera, aman dan damai, jika memilihku sebagai penguasa!”
Di sisi lain, kaum bijak bestari, agamawan dan filsuf berharap kekuasaan dapat menjadi alat untuk mewujudkan kebaikan bersama. Kekuasaan bukan piala yang direbut, melainkan beban tanggung jawab yang diletakkan di pundak. Kekuasaan adalah amanah, titipan kepercayaan yang diberikan oleh rakyat dan Tuhan. Penguasa adalah pelayan dan pelindung. Penguasa adalah wakil, dan ketuanya rakyat.
Namun, harapan indah tentang kekuasaan tersebut ternyata sangat sulit ditemukan dalam kenyataan. Berbagai sistem kekuasaan sudah dibuat dan dilaksanakan, baik yang sekuler ataupun yang berbasis keagamaan. Tetapi tampaknya, kekuasaan tetap cenderung lebih dihayati sebagai alat untuk meraih kekayaan dan kepentingan pribadi ketimbang sebagai alat untuk mencapai kebaikan bersama.
Mengapa demikian? Mungkin karena perjuangan moral antara yang baik dan buruk, dosa dan pahala, adalah perjuangan manusia sepanjang hayat, termasuk di ranah nista dan dosa, lebih mudah daripada mendaki puncak gunung kebaikan dan kemuliaan.
Sebab lainnya barangkali adalah terlampau percaya diri. Dia merasa mampu memperbaiki masyarakat. Padahal dia belum mampu mengendalikan kekuatan jahat di dalam dirinya sendiri. Bagaimana mungkin seorang pemimpin dapat memperbaiki masyarakat, jika diri sendiri belum baik? Bagaimana dia dapat mengalahkan para pejabat, jika belum bisa mengendalikan hawa nafsunya sendiri?
Selain itu, kaum elite di masyarakat , yakni mereka yang terpelajar dan berada di kelas menengah dan atas, tentu lebih menentukan arah kekuasaan ketimbang kaum miskin dan pinggiran. Masalah, justru kaum elite itulah tampaknya yang sibuk berdagang dan berjudi dengan kekuasaan. Merekalah yang dapat menggiring dan menekan rakyat agar mau menjual tunai bahkan memanipulasi suara mereka.
Saya khawatir, orang-orang baik di kalangan elite cenderung tidak tertarik kepada kekuasaan, sementara orang-orang setengah baik atau jahat justru sangat bergairah ingin menjadi penguasa. Lebih parah lagi jika kaum cendekiawan dan tokoh agama gampang dibeli sehingga mulut terkunci. Sementara sebagian lagi dari mereka malah menutup mata, tidak peduli dengan apapun yang tengah terjadi.
Untungnya hidup manusia terlalu kecil dan sederhana jika hanya dilihat dari teropong kekuasaan. Kekuasaan memang menentukan banyak hal, tetapi tidak menentukan semua hal. Mungkin sekarang petualang kekuasaan lebih banyak daripada pejuang kebenaran dan keadilan. Namun, di dunia politik sekali pun, orang-orang baik tetap ada. Merekalah harapan kita.
