infobanua.co.id
Beranda Opini Tong Kosong Berbunyi Nyaring

Tong Kosong Berbunyi Nyaring

Pribakti B

Oleh: Pribakti B

 

 

Peribahasa, dan idiom atau ungkapan simbolik, merupakan kekayaan budaya yang menggambarkan cita rasa dan kehalusan budi warga masyarakat pendukungnya. Modus komunikasi itu memang tidak terus terang tetapi jelas dan komunikatif. ” Tong kosong berbunyi nyaring” memang pernyataan yang berselubung kegelapan, tapi terang benderang, menyindir orang yang banyak bicara kurang makna. Ia juga menggambarkan suasana kejiwaan orang yang sedang berkompensasi, yang sibuk menutup kedunguan dan segenap kekurangannya dengan kata-kata kurang makna tadi.

 

Di dunia modern ini dimana ”tong kosong” disembunyikan? Mungkin di dalam kantor-kantor. Lebih khusus di dalam corak manajemen kantor-kantor pemerintahan.

Di zaman ”partai” sekarang ini, manajemen diukur secanggih apa rumusan teoretik dan landasan filosofinya tapi juga sebesar apa guncangan nasional yang dirasakan selama sebuah kebijakan dirumuskan. Dengan kata lain, manajemen harus berisik, harus bikin kalut dan keresahan supaya rakyat lupa derita mereka. Kalau tak ada keresahan, berarti pemerintah tak bekerja. Sebab dalam manajemen ”tong kosong” , pemimpin tak punya waktu berpikir tentang rakyat. Mereka sibuk melayani orang partai yang merasa dirinya majikan di negeri ini.

 

Ibarat gajah di pelupuk mata tak tampak, kutu tanaman di halaman tetangga tampak seperti gajah. Kita buta terhadap kausalitas. Kekurangajaran rakyat kecil, ketidakwarasan rakyat kecil, kenekatan rakyat kecil yang kian berani dan menonjol akhir –akhir ini adalah akibat pertunjukan teater negara yang selama ini kita mainkan. Jika para pembesar boleh menggusur paksa, membabati hutan , membiarkan banjir, lumpur menyerbu keluarga kami, mengapa saya tidak boleh membangun rumah di lahan kosong milik mereka? Mengapa mereka yang sudah puluhan tahun melanggar hukum dibiarkan hidup mewah, sedangkan kami yang melanggar hukum demi nyawa sendiri dituduh biadab?

 

Layaknya guru kencing berdiri, murid akan kencing berlari. Ketika guru-guru kencing berdiri di tepi jalan, murid-murid mungkin kaget akan ketidakwarasan guru-guru ini. Namun saat, kencing berdiri dianggap waras-waras saja oleh para guru, para murid menirunya lebih ekstrim. Mereka kencing sambil berlari sepanjang jalan. Inilah zaman edan. Dalam zaman edan, yang waras itu edan dan yang edan itu waras.

 

Mencuri milik negara atau milik umum itu wajar. Malah tidak waras kalau ada pribadi yang tidak memanfaatkan kesempatan itu. Merusak milik negara itu juga wajar-wajar belaka , baik pribadi pejabatnya maupun rakyat kecil yang terpepet. Sebaliknya , atas nama negara , atas nama publik, seorang pejabat sah-sah saja menggusur, merampas, menghancurkan milik rakyat kecil.

 

Yang berkuasa dan yang tak berdaya adalah pasangan kembar oposisi. Pasangan kembar ini bukan saling melengkapi, saling menghormati, saling mengakui, dan saling mengawini, melainkan pasangan perseteruan. Negara dan rakyat pasangan permusuhan, pertikaian, perceraian. Setelah bersatu pada masa revolusi, bulan madu negara-rakyat ini menjadi pasangan musuh. Rakyat mulai berani dan beringas merusak barang-barang milik negara, milik umum.

 

Rakyat adalah murid yang baik, penurut. Tetapi jika yang seharusnya dipatuhi, disegani, dituruti, diteladani malah kencing berdiri, apa boleh buat jika rakyat mengencingi guru-guru itu. Negara ini rusak oleh pemimpinnya sendiri. Para pengelola negara bersikap kontradiktif dengan etikanya sendiri. Yang seharusnya menjadi teladan, menjadi pecundang. Yang seharusnya mengayomi, ikut merusak. Yang seharusnya melayani, minta dilayani. Yang seharusnya membantu malah minta bantuan. Bukan melindungi , malah mengancam.

 

Maka tidak heran kini rakyat mulai memainkan teaternya sendiri karena tidak tahan lagi melihat teater negara . Jika dalam teater negara rakyat jadi korban, dalam teater rakyat negara jadi korban. Rakyat mulai merusak milik negara. Lambang-lambang pemerintahan dihujat. Benda-benda milik pemerintah dirusak. Ini tanda-tanda zaman, sebuah gejala-gejala awal. Jika teater negara ini tidak segera menghentikan lakon lamanya, tidak heran jika ketidakwarasan rakyat akan meningkat bukan saja pada lambang milik negara dan pemerintahan , melainkan menjurus kepada aktor-aktornya. Peradilan rakyat akan muncul.

Dan ruwetnya kegilaan ini  tidak akan dapat dibendung lagi. Semoga selamat negeri ini.

Bagikan:

Iklan